Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (4): Toilet Lelah

Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (4): Toilet Lelah

PENUMPANG Xiamen Air bersiap masuk ke pesawat sebelum terbang ke Tiongkok. -Novi Basuki-Harian Disway-

Setelah melaporkan nomor kursi, saya yang kepalang kebelet kencing buru-buru membuka pintu toilet yang di belakang pramugara.

"Jangan di situ. Itu baru dipakai orang. Silakan ke yang di sebelahnya," tegur pramugara sambil menunjuk toilet satunya.

Saya geleng-geleng kepala. "Urusan ke toilet saja kok harus diatur negara?" gerutu saya. 

Tetapi agaknya masih mending kalau dibandingkan dengan Indonesia –yang, seloroh Remy Sylado, "paling gampang sekali melibatkan Tuhan untuk hal-hal yang mestinya bisa diselesaikan oleh Pak RT."

Tak apa. Kata ungkapan Tiongkok, "非常时期, 非常手段": zaman edan, memang kudu pakai cara edan.

Asal jangan kelamaan. Takut kebiasaan, malah keenakan.

Untungnya, cuma butuh waktu lebih kurang 5 jam untuk sampai di Tiongkok. Kami mendarat di Changle International Airport, Fuzhou, pada sekitar pukul 8 malam. 

Fuzhou adalah ibu kota Provinsi Fujian –atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Hokkien.  Orang-orang Tionghoa-Indonesia banyak yang leluhurnya berasal dari sini –selain dari Guangdong alias Kanton. Keduanya sama-sama merupakan daerah pesisir di Tiongkok bagian selatan.

Begitu keluar dari pintu pesawat, kami langsung disemprot disinfektan. Berkali-kali. Dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Antre mau melewati imigrasi disemprot lagi. Semprot sana, semprot sini.


Fuzhou Changle International Airport.-Fuzhou Airport-

Imigrasi Tiongkok yang memang terkenal ketat sejak dulu, makin ketat saat pandemi begini. Apalagi, dua hari lagi, 10 Oktober, Tiongkok akan merayakan hari kemerdekaan. Tiga minggu sehabis itu, masih disusul oleh muktamar Partai Komunis Tiongkok. Dua hajatan akbar yang tak akan menoleransi kesalahan sekecil apa pun. Stabilitas adalah kunci.

Antrean di imigrasi jadi lama sekali. Dua jam lebih. Bisa Anda bayangkan bagaimana penatnya kaki yang berdiri selama itu.

Mungkin ini juga karena warga negara Tiongkok dan warga negara asing sama-sama digabungkan dalam satu barisan. Tidak dipisah-pisah: mana foreigners, mana Chinese Nationals. Semua diperlakukan sama jelimetnya di empat desk imigrasi yang ada. Partai Komunis yang selalu menekankan pentingnya persatuan, terwujud betul di sini –meski tak ada United Front yang mendorongnya.

Pak Amal dan Pak Rois dilayani di desk sebelah. Saya dan Pak Yusuf di desk satunya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: