Diracun Sekali Gak Mempan, Diulangi, Sekeluarga Tewas

Diracun Sekali Gak Mempan, Diulangi, Sekeluarga Tewas

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Sulit dinalar, pemuda disuruh kerja oleh ortu, ogah. Malah balas membunuh.

Sherry A. Thompson dalam makalah ilmiah berjudul Youthful Parricide: Child Abuse is Not the Primary Motivator yang dimuat di Journal of Criminological Research, 2019, menyebutkan, ada tiga jenis pembunuhan anak terhadap ortu.

Yakni, matricide, pembunuhan oleh anak terhadap ibu. Patricide, pembunuhan oleh anak terhadap ayah. Parricide, pembunuhan oleh anak terhadap ayah dan ibu atau anggota keluarga lain. Mayoritas (98 persen) pelaku anak laki-laki.

Berdasar data Parricide Prevention Institute, lembaga penelitian yang didirikan Sherry A. Thompson, parricide umumnya dilakukan anak usia 8 sampai 24 tahun. Ada lima motif pelaku. 

1)  Masalah kontrol (38 persen). Pelaku merasa dikontrol terlalu ketat oleh ortu. Pelaku pun merasa tertekan. Misalnya, pembatasan penggunaan telepon, telepon disita ortu, pembatasan pergaulan dengan teman tertentu.

2)  Masalah uang (10 persen). Pelaku mengincar uang milik ortu. Misalnya, masalah warisan, masalah asuransi jiwa ortu, menginginkan uang untuk pesta yang tidak disetujui ortu.

3)  Penghentian penyalahgunaan miras dan narkoba (8 persen). Ortu berupaya menghentikan anak kecanduan miras atau narkoba, lalu ortu dibunuh anak.

4)  Kemarahan mendadak (8 persen). Latar belakang kemarahan beragam. Bisa karena suatu kasus atau masalah yang sudah bertumpuk-tumpuk.

5)  Menginginkan kehidupan yang berbeda (7 persen). Pelaku menginginkan bentuk kehidupan berbeda, tapi ortu melarang. Misalnya, pelaku ingin tinggal dengan orang tua asuh. Sebab, sebelumnya pelaku sempat dirawat ortu asuh.

Sisanya (29 persen) tak terdeteksi pada riset yang digelar Parricide Prevention Institute.

Makalah Thompson yang hasil riset itu sebenarnya membantah  anggapan sebelumnya, bahwa pembunuhan anak terhadap ortu akibat anak ingin mengakhiri pelecehan ortu terhadap anak. Menurut Thomson, motif itu nyaris tidak ditemukan pada riset. 

Kalaupun di riset lain ada atau pernah terjadi anak yang dilecehkan ortu kemudian balas membunub ortu, jumlahnya sangat kecil. Jadi, dianggap tidak mewakili motif.

Di kasus Magelang, para tetangga keluarga Abas dalam wawancara dengan wartawan mengatakan, tidak menduga Dhio tega membunuh begitu rupa. Sebab, Dhio dikenal baik dan pendiam.

Kepala Desa Mertoyudan Eko Sungkono yang tetangga korban selama 20 tahun ini, kepada pers, mengatakan, ”Saya enggak nyangka. Kok bisa? Kami enggak pernah dengar kejanggalan-kejanggalan.”

Khusus terhadap pelaku Dhio, menurutnya, anak baik dan pendiam. Ikut pengajian di kampungnya dan rajin salat. ”Saya enggak tahu, apa yang salah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: