Gangster Surabaya Adalah Disfungsi Pesilat

Gangster Surabaya Adalah Disfungsi Pesilat

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kini gerombolan-gerombolan pemuda itu mulai kehabisan lahan beraksi. Sebab, polisi dan pemerintah kota mulai menggelar razia. Beberapa kelompok mulai kehilangan anggotanya setelah satu per satu ditangkap polisi.

Tersangka yang mengeroyok satpam perumahan dijerat dengan Pasal 170 KUHPidana tentang Pengeroyokan. Ancaman hukumannya lumayan lama. Maksimal 5,5 tahun.

Tapi, yang hanya kedapatan membawa senjata tajam bakal mendekam tak lama. Mereka dijerat dengan UU Darurat No 12 Tahun 1951. Ancamannya memang lebih tinggi daripada Pasal 170 KUHPidana. Maksimal 10 tahun penjara.

Tapi, selama saya menjadi wartawan sejak 1999, tidak ada pelanggaran membawa sajam yang dihukum lebih dari satu tahun. Tidak ada. Rata-rata hanya beberapa bulan.

Rasanya, kini saya kembali berharap agar penanganan api dalam sekam itu lebih terprogram. Tentu agar api dalam sekam benar-benar padam dan tidak akan muncul di kemudian hari.

Bila penanganan terlambat, tentu konflik tersebut akan melebar. Terakhir, kalangan Bonek sudah siap memberikan perlawanan kepada gangster tersebut. Tentu, bila itu terjadi, konflik horizontal akan makin parah. Warga Surabaya akan kian resah.

Yakinlah, bila Bonek dan pesilat harus berhadapan, perang makin panjang dan lama. Sebab, keduanya adalah sekelompok orang dengan tingkat solidaritas tinggi. Itulah yang harus diantisipasi.

Kendati pendatang, saya sudah tinggal di Surabaya, sejak 1992. Saya mengenal cukup baik warga Surabaya dan kultur sejarah yang membangunnya. Semasa perjuangan pun, di Surabaya ada sekelompok pejuang dengan sebutan Kompi Maling. Isinya memang para penjarah dengan tugas menjarah gudang senjata, perbekalan, dan alat medis milik penjajah.

Saya juga tahu, tingkat toleransi warga Surabaya sangat tinggi. Baik toleransi agama, suku, ataupun yang lainnya. Tidak ada konflik besar berdasar agama atau suku yang terjadi di Surabaya. Malah, saat kerusuhan etnis 1998, Surabaya jauh lebih aman daripada Jakarta.

Saya miris bila Surabaya harus ricuh hanya karena ulah segerombol anj*** baru gede (ABG). (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: