Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Aku Putuskan Menetap di Nusantara (100)

Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Aku Putuskan Menetap di Nusantara (100)

PERTEMUAN TAHUNAN Mijn Roots di Belanda Juli lalu. Mereka menjelma menjadi kekuatan besar sejak terbentuk 2016.-Dok Mijn Roots-

Kewarganegaraan Ana Maria van Valen memang masih Belanda. Namun, perempuan kelahiran 13 April 1976 itu sudah memutuskan untuk menetap di Indonesia sejak 1997.

Ana membuat keputusan besar di usia 21 tahun. Dia memutuskan untuk tinggal di Indonesia setelah menyelesaikan sekolah.

Sebenarnya tak ada masalah di Belanda. Ana hidup dengan penuh kasih sayang di bawah naungan Jan dan Gerda van Valen. Mereka hidup dengan 3 putra kandung dan 2 putri adopsi dari Indonesia.

Jan dan Gerda van Valen tentu kaget dengan keputusan itu. Mereka sudah menepati janji untuk membawa Ana mencari orang tuanyi di usia 18 tahun di Bogor. Ana berhasil menemukan Ibu Sati dan Ayah Andung di Desa Situ Daun pada 4 Agustus 1994.

Kalau ingin menemui mereka, Ana tinggal pulang ke Indonesia setiap tahun. Mereka pun bertanya apakah Ana benar-benar ingin pindah?

Muncul banyak pertanyaan. Di Indonesia, siapa yang menjamin kehidupan Ana? Di mana dia tinggal? Tentu tak mudah untuk menetap di tempat baru. Sebab, hampir seluruh hidup Ana dihabiskan di Belanda.


ORANG TUA kandung Ana Maria, Haji Andung dan Ibu Sati di Bogor. Kedatangan Ana mempertemukan mereka yang pernah menjalin hubungan. -Dok Ana Maria -

Keluarga kandung Ana di Bogor hidup pas-pasan. Sementara itu, Ana belum memiliki penghasilan sendiri.

Rupanya Ana sudah memikirkan semua hal itu secara matang. Dia menghubungi agen perjalanan Indonesia. Ada kesempatan bekerja di industri pariwisata sebagai hostes dan pemandu tur di Pulau Dewata: Bali.

Jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat yang juga teman Bung Tomo, Ktut Tantri alias Muriel Stuart Walker, menyebut Bali sebagai surga. Ia menulisnya di buku legendaris Revolt in Paradise.

Bali menjadi tempat pas untuk memahami Indonesia. Kultur dan budaya masih terjaga dan menjadi magnet pariwisata. Pulau itu juga menjadi jujukan turis lokal dari berbagai suku di Indonesia.

Posisi Ana sangat dibutuhkan untuk mendampingi turis Asing. Ana fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Dan yang paling penting: wajahnya sangat Indonesia. 

Setelah dipertimbangkan, Ana sepertinya bisa bertahan hidup di Bumi Nusantara.

Jan dan Gerda tentu ingin tetap bersama Ana. Namun, dia sudah tumbuh sebagai gadis dewasa yang berhak menentukan jalan hidupnyi. Kalau kangen, mereka tinggal datang ke Indonesia.

”Di Bali hampir 10 bulan,” kata perempuan yang juga mahir berbahasa Indonesia itu. Saat libur, Ana selalu pulang ke Bogor untuk menemui Sati dan Andung. Bagaimanapun, tujuan utama Ana ke Indonesia bukan untuk bekerja. Namun, untuk merajut koneksi dengan keluarga yang terputus selama dua dekade.

”Saat itu aku juga belajar lebih banyak tentang budaya dan bahasa Indonesia,” lanjut master special education and teaching di Hogeschool Utrecht, Belanda, itu. Ana menempuh S-2 untuk pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus setelah 10 bulan di Indonesia.

Saat kembali ke Belanda, Ana tetap bekerja di industri pariwisata. Pengalaman di Pulau Dewata dibawa pulang ke Belanda. 

Ana sempat menetap dan bekerja di Singapura. Namun, burung tetap pulang ke sarang. Ana memutuskan tinggal di Indonesia lebih lama. Saat menetap di Surabaya 2016, ada permintaan pencarian orang tua kandung di Indonesia.

Christine Verhaagen yang diadopsi dari Jakarta mencari keberadaan orang tua. Dia sudah pernah ke Indonesia. Namun, pencariannyi tak membuahkan hasil. ”Boleh dibilang, Christine adalah orang pertama yang meminta bantuan,” ujar ibu tiga anak itu.


PEJUANG MIJN ROOTS Christine Verhaagen, Olvi Jasinta dan Ana Maria dalam satu frame. -Dok Mijn Roots-

Christine diadopsi saat berusia 6 bulan melalui Yayasan Kasih Bunda di Jakarta. Dia tinggal bersama pasangan asal Heerenveen. Dia mengalami hal yang sama dengan Ana saat masa pubertas. Christine mulai mencari tahu asal-usulnyi. Dia menyadari Belanda bukan kampung halaman sebenarnya.

Dia pernah gagal mencari keberadaan orang tua di Jakarta pada 2004. Namun, keinginan untuk mencari terus muncul bagai gelombang pantai yang makin besar. 

Hubungan dengan Christine itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya Mijn Roots. Duo perempuan tangguh itu berbagi tugas. Christine menetap di Belanda, sedangkan Ana membangun tim pencari di Indonesia.

”Aku senang bisa menetap di Indonesia. Aku ingin memberikan sesuatu untuk anak-anak adopsi. Aku bahagia dengan segala yang kesempatan yang aku dapat. Saya mengajari anak-anak tak mampu secara cuma-cuma. Membangun pertemuan keluarga kandung dan memulai contention in action  bersama Sumi Kasiyo,” tulis Ana.

Sampai saat ini sudah lebih dari 60 keluarga yang dipertemukan berkat Mijn Roots. Makin lama makin banyak anak adopsi yang meminta bantuan. Mijn Roots juga menolong orang tua kandung yang ingin mencari anaknya yang hilang. 


PERTEMUAN Mijn Roots di Utrecht, Belanda dihadiri Duta Konselor KBRI di Belanda Aziz Nurwahyudi pada 2016. Ia diapit oleh dua pendiri Mijn Roots Christine Verhaagen dan Ana Maria van Valen.-Dok Mijn Roots-

Perlahan tapi pasti, Mijn Roots menjadi kekuatan besar. Mereka berhasil membuat gerakan protes hingga demonstrasi di Belanda. Komunikasi dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI juga rutin terjalin.

Kini mereka merancang rencana besar: menggugat pemerintah Belanda secara kolektif. Belanda harus meminta maaf dan membayar ganti rugi atas pembiaran ribuan perdagangan manusia di masa lampau.

Berakhir sudah seri Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung edisi pertama. Masih banyak kisah dari anak-anak adopsi lainnya di edisi selanjutnya. Sampai jumpa 1 Januari 2023. (Salman Muhiddin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: