Barter Hukuman di Kasus Gunadarma

Barter Hukuman di Kasus Gunadarma

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

”Seharusnya Polres Depok bisa langsung memproses tindakan persekusi dan pengeroyokan itu karena ini merupakan delik biasa. Bukan delik aduan. Tidak perlu harus menunggu laporan korban. Bukti videonya juga sudah jelas dan viral.”

Pendapat Sahroni menanggapi pernyataan pihak Polres Depok bahwa Polres Depok menunggu laporan korban persekusi yang juga terduga pelaku pelecehan seks di Gunadarma.

Kasatreskrim Polres Metro Depok AKBP Yogen Heroes Baruno kepada pers, Sabtu (17/12), mengatakan, wajah-wajah pelaku penelanjangan (persekusi) sudah dipegang polisi.

Yogen: ”Beberapa identitas sudah kami kantongi. Wajah-wajah yang tersebar di video, ya... Apabila nanti pelaku (peleceh seks) atau korban persekusi tersebut melakukan pelaporan polisi, baru kita akan tindak lanjuti.”

Pernyataan Yogen dianggap keliru oleh Sahroni. Persekusi delik biasa. Polisi, tanpa menunggu laporan korban, wajib menyidik perkaranya.

Kasus ini jadi rumit. Oleh aneka pendapat yang bertentangan dengan tindakan polisi. Perkara yang kelihatannya sepele dari segi bobot hukum menjadi polemik panjang. 

Seumpama Polri tidak menyesuaikan diri dengan pendapat pakar dan wakil ketua Komisi III DPR, tidak bisa dibayangkan jadinya. Apakah bakal tidak terjadi apa-apa ataukah terjadi apa-apa. Sebab, dalam hal legislasi, Polri di bawah Komisi III DPR yang membidangi kamtibmas.

Sahroni menutup: ”Ini harus segera diproses untuk memberikan pengertian ke masyarakat, bahwa tindakan main hakim sendiri dan persekusi itu sangat tidak dibenarkan.”

Tindak main hakim sendiri sesungguhnya sangat banyak terjadi di Indonesia. Nyaris jadi budaya.

Dikutip dari policyforum.net, 12 Januari 2017, bertajuk Justice by Numbers, The Rising Spectre of Vigilantism in Indonesia, ditulis Sana Jaffrey, disebutkan, pada 2005 sampai dengan 2014 ada 33.627 korban tindak main hakim sendiri. Terjadi di 16 provinsi di Indonesia.

Dengan kata lain, per tahun rata-rata ada 3.362 korban tindak main hakim sendiri. Atau, hitung sendiri, berapa per hari.

Jaffrey saat itu (2017) kandidat doktor di Departemen Ilmu Politik Universitas Chicago, Amerika Serikat (AS). Sekaligus peneliti tamu di Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Universitas Paramadina, Jakarta.

Jaffrey mengutip data tersebut dari The National Violence Monitoring System (NVMS). Sedangkan, NVMS adalah penyedia data dan analisis mengenai konflik dan kekerasan di beberapa daerah di Indonesia. NVMS dipimpin Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dengan dukungan dari The Habibie Center dan Bank Dunia.

Artinya, data ungkapan Jaffrey itu bukan versi AS. Melainkan NVMS dipimpin pemerintah Indonesia melalui kementerian, didukung The Habibie Center. 

Dari data NVMS pula, yang dikutip Jaffrey, di zaman Orde Baru, tindakan main hakim sendiri sengaja dibiarkan pemerintah. Ia mencontohkan, pembunuhan ribuan orang di Jawa Timur yang dituduh sebagai dukun santet pada 1998. Tanpa bukti di pengadilan, orang yang diduga dukun langsung dibantai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: