Dosen yang Tabah Hadapi Anak Kedua Autis dan Suami Stroke
Lindiawati menunjukkan ketika dirinya dan keluarga berhasil memberikan dukungan kepada putri pertamanya sehingga dia berhasil mendapatkan gelar Sarjana S1.-dokumen pribadi-
SURABAYA, HARIAN DISWAY- Perempuan anggun. Bersahaja. Umurnya 53 tahun. Dia memperjuangkan keluarganya sejak delapan tahun lalu. Hampir tak pernah mengeluh. Pun sempat satu kali itu, tangisnya langsung pecah. Saat anak nomor duanya dikhitan. Sejak tiga tahun sebelumnya, ia bingung.
Khawatir anak nomor duanya yang mengalami gangguan interaksi dan komunikasi (autis) bereaksi keras saat proses khitan. Tapi operasi itu menjawab kekhawatirannya. Zaki berhasil dikhitan. Ia senang. Terharu.
Sosok perempuan ini adalah Dr, Lindiawati, Dra., M.M. Warga Bendul Merisi, Kecamatan Semolowaru, Surabaya, seorang dosen di salah satu pergutuan tinggi di Surabaya, Perbanas (kini sudah menjadi Universitas Hayam Wuruk Perbanas). Tiga jurusan sekaligus.
Lindia begitu sapaan akrabnya. Sudah sering menyembunyikan kesedihan. Sejak, Zaki umur 2,5 tahun, divonis mengalami autis. Suaminya, Joko juga mengalami stroke, sekitar satu setengah tahun. Kini Ia harus memimpin. Berjuang untuk keluarganya. Dengan segala kemampuannya menjadi tulang punggung keluarga.
Ia selalu menguatkan dirinya sendiri, termasuk mengajarkan ke anak pertamanya, Afa. Agar menjadi sosok yang mandiri. Dan berhasil. Afa, sukses menempuh pendidikan. Afa berhasil menjadi wisudawan terbaik S1, jurusan Ekonomi dan Bisnis di Unair.
Afa juga berhasil mendapat program melanjutkan studinya. Kini anak perempuan kelahiran 1998 itu lulus S2, dan mulai melamar-lamar pekerjaan. Rencananya berkarir di BUMN, Inhutani, Departemen Kehutanan.
Perempuan yang hobi berkebun dan melukis itu, juga rela harus menjadi pemimpin. Menjadi kepala rumah tangga. Sejak suaminya, Joko mengalami strok. Setelah satu setengah tahun anak keduanya itu divonis autis, di usianya yang masih balita, dua setengah tahun.
Sejak saat itu, delapan tahun silam, semua keperluan rumah tangga diurusnya sendiri. Tak hanya soal menjadi ibu untuk dua anaknya. Istri untuk suaminya. Dan tak hanya soal menyiapkan sarapan, maupun proses tumbuh kembang kedua anak-anaknya. Hampir semua ia kerjakan sendiri.
Suatu ketika, salah satu anaknya sakit. Ia membopongnya. Malam-malam. Sampai di rumah sakit dia lega. Ia tak sadar, tak tahu bagaimana bisa melakukan semua itu, sendirian.
"Merawat kendaraan jadi saya. Saat mudik lebaran, saya nyetir sendiri. Gantian sama Afa saat dia sudah besar ini," ucapnya, sambil senyumnya mengembang, anggun. Kini ia hanya bisa pasrah, dan terus menikmati keharmonisan keluarganya itu dengan happy. Ia percaya, skenario yang diberikan Allah selalu indah, jika dapat dijalankan dengan penuh kasih sayang, tulus-iklas. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: