Gubernur Bubar

Gubernur Bubar

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

DI tengah saling sandera dan saling serang antargeng koalisi capres, muncul usulan menghapus gubernur. Menarik. Menghilangkan satu level birokrasi.

Usulan itu menjadi layak dibicarakan karena yang mengungkitnya Muhaimin Iskandar. Ia ketua umum PKB yang juga wakil ketua DPR RI. Dengan otoritas politik Cak Imin, wajar bila usulan tersebut terus bergulir. Apalagi, Kementerian Dalam Negeri sudah memberikan lampu hijau untuk mengkajinya.

Presiden Jokowi pun sudah angkat bicara. Menurut Jokowi, usulan Muhaimin itu perlu kajian mendalam. Apakah efisiensi dan kalkulasi mengatasi jarak kontrol pusat dan daerah yang menjadi jauh.

Tentu bayangan kita yang pertama muncul, bila terealisasi, tak akan ada lagi pemilihan gubernur. Ada penghematan biaya besar di situ. Contohnya, untuk anggaran pemilihan gubernur 2024, KPU Jawa Timur mengajukan Rp 1,98 triliun. Itu baru satu provinsi.

Kalau gubernur dihapus, konsekuensinya, DPRD level provinsi juga hilang. Itu juga menghemat anggaran negara yang tidak sedikit. Juga, mengurangi potensi konflik horizontal para pendukung yang menghabiskan banyak energi.

Bila gubernur bubar, otomatis juga tidak ada lagi jenjang birokrasi dan otoritas di level provinsi. Selama ini, banyak otoritas kabupaten/kota yang tak selaras dengan gubernur. Atau juga tumpang-tindih. Sebagian wewenang melekat ke bupati/wali kota, sebagian lainnya milik gubernur.

Contohnya di dunia pendidikan: wajib belajar 12 tahun. SD dan SMP wewenang bupati/wali kota. Tapi, SMA urusan gubernur. Lebih efektif bila semuanya ditangani satu atap. Untuk kesinambungan peraturan dan pengelolaan. 

Urusan jalan raya juga kadang-kadang membingungkan. Masyarakat yang protes jalan rusak kadang kala dianggap protes salah alamat. Diprotes ke pemkab, ternyata jalannya milik provinsi. Bupati tak berdaya dengan protes warganya. 

Belum lagi, ada jalan raya yang wewenang pemerintah pusat. Jadi, ada tiga level.

Seharusnya cukup dua level saja. Pemerintah pusat dan daerah.

Lantas, siapa yang menjadi representatif daerah? Kalau mengacu UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, titik berat otonomi daerah berada di level kabupaten atau kota. Bukan di provinsi. 

Tapi, ada persoalannya. Gubernur sebagai atasan para bupati dan wali kota mempunyai legitimasi yang kuat karena hasil pemilihan langsung. Bupati dan wali kota juga merasa punya legitimasi yang kuat karena terpilih lewat pemilihan langsung. 

Karena merasa sama-sama punya legitimasi, itulah yang membuat banyak berita: bupati tak hadir saat rapat dengan gubernur. Yang mewakili level kepala dinas. Atau wakil bupati. Cerita semacam itu juga yang menjadi salah satu alasan Cak Imin mengusulkan penghapusan provinsi. 

Kalau gubernur dihapus, cukup diganti dengan pejabat yang diangkat pemerintah pusat. Toh, apalagi salah satu fungsi gubernur saat ini adalah wakil pemerintah pusat di daerah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: