Manis Pahitnya Jadi Mahasiswa Indonesian International Student Mobility Award

Manis Pahitnya Jadi Mahasiswa Indonesian International Student Mobility Award

Cakra dan Buku-Buku Universitas Pécs -Dika-

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Ekspektasi bisa belajar di luar negeri sudah jadi impian banyak mahasiswa. Tak beda halnya dengan Cakra Diaz, salah seorang mahasiswa UPN Veteran Jawa Timur yang terpilih menjadi peserta IISMA (Indonesian International Student Mobility Award) angkatan pertama tahun 2021.

 

“Dari dulu emang pengen banget sih bisa belajar di luar negeri. Sebelumnya udah pernah coba cari beasiswa ke Jepang, tapi gagal gara-gara pasporku itu terbit seminggu setelah deadline registrasi. Terus akhirnya 2018 yaudah masuk UPN dan ketemulah sama IISMA,” kata Cakra.

 

Menurutnya, IISMA adalah salah satu program kampus merdeka yang sangat menguntungkan dan menjanjikan masa depan. Selain menawarkan kebebasan belajar lintas jurusan, mencari banyak pengalaman di negeri orang merupakan hal paling sulit dilupakan.

 

IISMA  merupakan bagian dari program kampus merdeka berupa beasiswa. Penghargaan beasiswa ini diberikan pada para mahasiswa Indonesia yang memenuhi syarat untuk dapat belajar di universitas dan industri bonafid di luar negeri. Belajar selama satu semester dan dikonversi sebanyak 20 SKS sangat menguntungkan mahasiswa. 

 

 

 

Sindrom kangen rumah, atau yang biasa dikenal home-sick sudah jadi makanan sehari-hari. Apalagi melihat harga barang-barang di sana yang jauh lebih mahal terkadang jadi beban pikiran.

 

“Kadang aku masih suka banding-bandingin sama harga di sini. Meskipun memang, kan kurs mata uang sana sama sini beda, tapi ya kaget aja gitulo,” cerita Cakra sambil mengenang masa-masa studinya.

 

Mantan mahasiswa Universitas Pécs di Hungaria ini mengaku uang saku yang diberi kemendikbud lebih dari cukup untuk belajar sekaligus ‘bersenang-senang’. “Aku pernah paling jauh ke Swedia sama Kroasia. Itu ke Swedia naik pesawat gak sampe dua jam. Naik bis ke Jerman bisa enam sampe delapan jam dari Hungaria. Di Eropa itu pindah-pindah negara lewat darat pun bisa,” lanjutnya.

 

Diluar bayangan kesenangan jalan-jalan ke luar negeri gratis, Cakra mengatakan program IISMA di angkatannya cukup kacau. “Sebenarnya ini bisa jadi suka dan dukanya. Keterlibatan kemendikbud untuk mengontrol anak-anak IISMA minim. Setidaknya waktu tahunku. Sampai ada anak yang magang di sana,” ucapnya waktu diwawancarai pada hari Jumat, 3 Februari 2023.

 

Ia bahkan sempat magang di KBRI Hungaria. Sengaja mengambil kesempatan tersebut untuk memenuhi salah satu konversi SKS yang belum jelas kepastiannya. “Waktu itu prodi masih belum jelas ini IISMA bisa dikonversi ke magang apa gak. Sementara, kan aku butuh itu jadi sekalian. Lagipula gak dipantau kok sama kemendikbud,” lanjutnya.

 

 

Namun berawal dari sanalah ada simbiosis mutualisme dengan KBRI Hungaria. Saling berbagi informasi termasuk dimintanya Cakra membuat laporan terkait kendala program IISMA tahun pertama.

 

Dari sisi pemerintahan sendiri, keberangkatan pertama program IISMA cukup mengagetkan atase luar negeri. Karena tanpa sepengetahuan mereka, tiba-tiba saja kemendikbud mengirimkan sejumlah anak ke luar negeri.

 

Pihak penyelenggara dari Indonesia hanya mengurus IISMA secara bilateral, langsung ke universitas yang dituju tanpa adanya laporan pada pihak penanggungjawab WNI di luar negeri.

 

Sementara dari sisi keuangan, Cakra mengaku tidak pernah mengalami kendala karena selalu datang tepat waktu. Namun ada beberapa hal yang harus reimburse seperti mengurus visa dan kewajiban untuk PCR.

 

“Tetap dibayarin kok tapi nanti setelah selesai semua. Karena memang ada beberapa hal yang tidak bisa diurus sama kemendikbud. Kayak misalnya visa, kan ada kebijakannya sendiri, jadi ya terpaksa pake uang pribadi dulu. Tapi overall gak masalah,” ucapnya.

 

Keberuntungan yang Cakra dapat tidak sama dengan teman satu angkatannya. Ia membagikan pengalaman temannya yang kedapatan dikirim ke Inggris.

 

Karena ada kesalahpahaman informasi antara penyelenggara dengan pihak kampus di London, akhirnya temannya tidak mendapatkan asrama. Kemendikbud tidak mendampingi, hanya memberi uang untuk akomodasi mencari tempat tinggal di luar asrama.

 

“Tapi kan ya eman, di tempatku asrama dirupiahkan cuma dua juta setengah. Nah dia bisa sampe 10 juta. Meskipun di Hungaria sama London beda, ya mata uangnya. Apalagi Inggris udah Brexit harganya makin gila-gilaan,” kenangnya.

 

Dibalik kekacauan yang terjadi di tahun pertama, lain yang dirasa oleh Sayyidah Humairoh. Adik tingkat Cakra yang terpilih menjadi peserta IISMA tahun 2022 di Belanda.

 

Perempuan hijab yang sering membagikan kegiatannya di instagram ini begitu semangat menceritakan kisahnya. Anggapan orang-orang Eropa yang rasis dan menakutkan untuk muslim tidak ia temui di sana.

 

“Aku nyaman banget di sini! Gak expect mereka seperti itu. Mereka sebenarnya ramah even ke orang asing. Individualis memang tapi respect. Ada yang pake baju nyentrik ya orang-orang gak bakal ada yang ngeliatin sambil bisik-bisik,” ujarnya dengan senyum lebar.

 

 

Berbanding terbalik dengan yang dialami kakak tingkatnya. Sayyi, panggilannya, berkesempatan belajar di Universitas Twente. Ada banyak kegiatan yang dilakukan bersama para peserta IISMA maupun perkumpulan mahasiswa Indonesia di sana. Sistem laporan dan tugas yang harus dikerjakan juga terstruktur. Kemendikbud di tahun kedua banyak mengambil pelajaran dari tahun sebelumnya. Pengawasan yang ketat, terkontrol, dan penuh pendampingan.

 

Dengan penuh keyakinan Sayyi berkata, “Terlepas dari cerita-cerita teman-teman yang lain. Itu semua bisa jadi bekal pengalaman apapun yang terjadi. Kalau aku bisa kasih rating ya 100 buat IISMA! Kalian harus coba! Semoga beruntung!”  (Hendrina Ramadhanti)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: