Pola Relasi Baru NU-Muhammadiyah
-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Apalagi, makin banyak juga kelompok profesional dan akademisi yang berasal dari keluarga nahdliyin. Dua kelompok sosial yang mencerminkan modernitas itu dulu lebih banyak dari kalangan Muhammadiyah sebagai hasil dari sistem sekolah klasikal yang didirikannya.
Kalaupun ada persaingan antar kedua ormas tersebut, itu bukan lagi soal keagamaan. Tapi, lebih kepada persaingan untuk memberdayakan umat masing-masing. Lahirnya kelas menengah baru yang makin besar di NU menjadikan hal itu memungkinkan.
Dalam hal pendidikan umat, kini tak lagi didominasi amal usaha Muhammadiyah. Di lingkungan NU juga makin banyak sekolah berkualitas yang menjadi tempat para kelas menengah baru santri untuk memercayakan anak-anaknya di luar pesantren yang menjadi andalan NU.
Pesantren pun tidak hanya menjadi jujukan para santri dalam menyekolahkan anaknya. Tidak jarang keluarga Muhammadiyah yang memasukkan anaknya ke pesantren. Di Nganjuk, malah ada sekolah Muhammadiyah yang menitipkan sejumlah anak didiknya ke pesantren untuk belajar agama.
Sebaliknya, anak-anak NU juga tidak lagi tabu bersekolah dan menempuh pendidikan tinggi di amal usaha Muhammadiyah. Itu sangat berbeda dengan tiga dekade lalu. Saat orang tua keluarga santri masih khawatir jika anaknya akan menjadi Muhammadiyah ketika bersekolah di amal usaha Persyarikatan itu.
Saya masih ingat betul ketika hendak kuliah di Yogyakarta. Saya yang dari keluarga santri di Blitar dikhawatirkan akan menjadi Muhammadiyah ketika sekolah di sana. Ini riil. Bukan hanya joke atau guyonan. Sebab, saya mengalami sendiri situasi itu.
Saat itu, ketika berangkat ke Jogja, saya dititipi surat oleh orang tua untuk saudaranya di Jogja. Kebetulan, saudara yang masih sepupu ibu itu seorang tokoh NU. Ketua PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah beberapa tahun terungkap, surat tersebut berisi permohonan ibu saya agar sepupunya tersebut menjaga saya agar tidak menjadi Muhammadiyah.
Pengalaman serupa ternyata banyak dialami anak-anak keluarga santri dari Jawa Timur yang sekolah di kota tempat berdirinya Muhammadiyah itu. Bahkan, sampai ada joke seorang tokoh di Madura berpesan kepada anak perempuannya yang kuliah di Jogja. ”Nak, nanti kalau cari suami jangan Muhammadiyah. Nanti ayahmu nggak ada yang mendoakan jika mati,” katanya.
Zaman telah berubah. Isu perbedaan antara kedua ormas Islam itu secara sadar mulai dikikis masing-masing pimpinannya maupun di lapis akar rumput. Makin menyadari perlunya berkolaborasi untuk menjadi pilar negara. Menjadikan bangsa ini sebagai sajadah yang lebar untuk hidup bersama.
Kalaupun masih ada ketegangan-ketegangan kecil, paling itu hanya soal kepentingan politik. Kepentingan untuk berkontribusi lebih besar kepada bangsa ini. Rasanya menjadi penting untuk menjadikan kedua ormas tersebut lebih kokoh sebagai payung bersama bagi umat Islam dan warga negara Indonesia.
Rasanya makin menarik mencermati pola relasi baru dari kedua ormas Islam besar itu. Dari keduanya kita berharap bukan hanya menjadi pilar negara. Tapi, juga dari keduanya kita berharap umat bisa mengambil peran dalam perubahan dunia yang makin cepat. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: