Setahun Mengungsi, Warga Ukraina Tiap Hari Rindu Rumah

Setahun Mengungsi, Warga Ukraina Tiap Hari Rindu Rumah

KELUARGA TITKOV di apartemennya di Wina, Austria. Dari kiri, Danylo, Denys, Valerii, dan Irina.-JOE KLAMAR-AFP-

Mereka tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba saja, rumah mereka berubah menjadi zona perang sekitar setahun silam, 24 Februari 2022 Demi selembar nyawa, orang-orang itu pergi dari kampung halaman. Sambil membawa segenggam kerinduan.

CINTA rumah.

 

Tulisan itu ada di dinding apartemen yang ditinggali keluarga Titkov di Wina, Austria. Tulisan tersebut benar-benar menggambarkan isi hati keluarga Ukraina yang harus lari dari Irpin, kampung halamannya, sekitar setahun silam.

 

’’Perasaanku campur aduk,’’ ucap Iryna Titkova, mantan guru bahasa Inggris di Ukraina. ’’Di sini, makanan kami tercukupi. Kami punya apartemen yang hangat, punya uang hasil kerja. Punya tabungan,’’ tutur ibu beranak tiga orang itu seperti dikutip Agence France-Presse.

 

Tetapi, ada satu yang dirindukan perempuan ayu itu: rumah…

 

’’Kadang kami merasa malu bisa bersenang-senang di sini. Sedangkan saudara-saudara kami menderita di Ukraina,’’ kata Iryna.

 

Keluarga itu memang cepat pergi dari tanah airnya. Tepatnya, sehari setelah serangan perdana Rusia pada 24 Februari 2022.

 

Valerii, suami Iryna, sebenarnya tidak diperbolehkan keluar dari Ukraina. Sebab, negeri itu punya aturan bahwa lelaki berusia 18-60 tahun tak boleh mengungsi. Mereka harus siap jika sewaktu-waktu berperang demi negeri.

 

Tetapi, Valerii memang mendapat izin khusus. Sebab, adalah kepala keluarga dengan banyak anak.

 

Akhirnya, keluarga Titkov pun menjadi satu di antara 90 ribu pengungsi yang diterima di Austria. Mereka punya kartu kewarganegaraan khusus. Sehingga mendapatkan perlindungan.

 

Dengan kartu itu, mereka boleh tinggal sampai Maret 2024 tanpa harus minta suaka. Kartu tersebut juga membikin mereka mendapatkan bantuan duit jauh lebih besar daripada pengungsi dari negara lain.

 


ANAK-ANAK PENGUNGSI Ukraina berjalan menyeberangi perbatasan Ukraina-Romania, 2 Maret 2022. Mereka membawa ransel berisi benda miliknya yang paling berharga.-DANIEL MIHAILESCU-AFP-

 

Di Austria, satu keluarga mendapat bantuan lebih dari 1.000 euro per bulan. Itu sekitar Rp 22 juta. Duit itu bisa dipakai membeli makanan dan menyewa apartemen. Selain itu, keluarga tersebut juga mendapatkan kursus bahasa Jerman gratis. Seminggu tiga kali.

 

Dan bagi Valerii, pelajaran bahasa Jerman itu benar-benar hal yang paling berat di Austria. ’’Pekerjaan jadi lebih susah. Suit sekali berkonsentrasi untuk menyerap semua informasi yang saya terima,’’ katanya.

 

Bantuan untuk para pengungsi dari Ukraina itu memang begitu besar. Tidak hanya soal materi, tetapi juga kesehatan mental. Terutama bagi anak-anak.

 

Adalah Anna Shevchenko, relawan berdarah Inggris-Ukraina, yang punya ide. Dia melihat bahwa bocah-bocah pengungsi selalu membawa tas ransel kecil. Menurut Shevchenko, ransel itu adalah lambang memori. Juga harapan untuk bisa membangun hidup baru di tempat pengungsian.

 

’’Saya pikir, anak-anak itu membawa hal yang menurut mereka paling berharga di ransel,’’ kata konsultan bisnis sekaligus novelis itu.

 

Dia pun menggubah cerita tentang ransel. Menggandeng Lilia Martynyuk, illustrator Ukraina, ia mengarang cerita tentang ransel. Perjuangan Martynyuk cukup berat. Sebab, dia harus berkerja di ruang bawah tanah rumahnya di kota Zaporizhzhia yang sedang diguncang perang.

 

Proyek mereka dibantu oleh Di Redmond yang berpengalaman menggarap cerita Postman Pat.

 

Maka lahirlah buku bergambar. Judulnya, Rucksack. Artinya: tas ransel.

 


SAMPUL BUKU Rucksack yang menjadi terapi trauma bagi anak-anak pengungsi Ukraina.-THE RUCKSACK PROJECT-

 

Ceritanya tentang seorang anak Ukraina yang mengungsi karena perang. Tetapi, tas ranselnya hilang. Dalam kesedihan, ia didatangi anak-anak lain. Mereka mengajaknya ke bungker persembunyian di stasiun bawah tanah Kyiv.

 

Di situ, bocah tersebut mendapatkan ransel baru. Tetapi, ia malah sedih. Sebab, tak ada kenangan apa pun di ransel anyar itu.

 

Bocah tersebut akhirnya bangkit dan melanjutkan perjalanan ke tempat baru. Di sana, ia membangun ulang memori dan harapannya. Bahwa suatu saat ia akan bisa pulang ke tanah airnya. (Doan Widhiandono)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: