Merawat Kenangan Perjuangan HAM di Museum Munir Kota Batu
Ruang perpustakaan di Museum Munir.-munirhumanrightsmuseum.org-
Museum Munir dibangun di kediaman sang aktivis di Kota Batu. Omah Munir menjadi saksi bisu kehidupan sang pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang diracun di udara itu.
Museum ini terletak di pinggir jalan yang tidak begitu ramai. hawanya sejuk dengan pemandangan bukit Kota Batu yang terlihat di sekeliling. Pengurus dari Museum Omah Munir adalah sang istri: Suciwati.
Bagai merawat kenangan melalui bangunan museum, perjuangan HAM yang dilakukan oleh Munir sangat melekat di sini. Berbagai koleksi milik pribadi sang aktivis bisa dilihat yang terdiri dari skripsi, jam tangan, pulpen, kartu identitas pribadi, sepatu, baju sampai jasnya masih tersimpan rapih di museum itu.
Barang-barang pribadi milik Munir-Dokumen Pribadi-
Saat memasuki halaman Omah Munir pengunjung akan di sambut dengna rumah tinggal pada umumnya. Patung Munir yang dipajang di sana jadi pembeda. Sebelum masuk, pengunjung harus mengisi buku tamu.
Sepi, sunyi dan haru akan terasa ketika memasuki ke museum itu. Iringan lagu Efek Rumah Kaca: Di Udara bikin makin merinding.
“Tapi aku tak pernah mati, tak akan berhenti,” lirik yang terngiang-ngiang ketika berada di sini. Sama seperti liriknya bahwa perjuangan Munir untuk Indonesia tidak akan mati. Dikenang sepanjang masa oleh para penerusnya.
Tampak depan Museum Munir bekas rumah pribadi-Dokumen Pribadi-
Di sebelah kiri pintu masuk terdapat meja legendaris yang dipakai oleh Munir ketika masa kerjanya semasa waktu ia LBH Surabaya. Meja itu jadi saksi bisu sejarah tugas Munir untuk menerima berbagai pengaduan masyarakat, advokasi, menyusun rencana dan lain sebagainya.
Di sisi lain juga banyak tulisan-tulisan sejarah: Jalan hidup Munir, Munir dan KontraS, dua hari terakhir di udara, Munir dan Aceh.
“Museum munir ini menjadi salah satu destinasi lain untuk Kota Batu, tempatnya tidak terlalu jauh dengan alun-alun Batu. Bisa dijadikan destinasi lokal yang informative sekali dan menampilkan informasi secara detail tentang Munir,” kesan Miftah Faudzan seorang pengunjung Museum Munir.
Munir adalah aktivis HAM yang meninggal pada saat perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam, 7 September 2004. Ia menumpangi Garuda Indonesia Penerbangan 974.
Ia diracun dengan senyawa arsenik yang dituangkan terduga Pollycapus pada saat sedang meminum kopi bersama di Coffee Bean Bandara Changi. Pukul 1.20 hingga 6.45 Munir bolak-balik ke toilet karena perutnya yang sakit. Lalu di pukul 12.10 ia dinyatakan meninggal sejak pukul 10.00 di udara dengan mulut yang mengeluarkan air liur tidak berbusa.
Di museum itu, pengunjung tidak hanya melihat sejarah dan koleksi pribadi milik Munir saja, di sana terdapat perpustakaan kecil yang bisa dijadikan tempat untuk membaca, mengerjakan tugas atau bekerja.
Yang tak kalah penting adalah toko oleh-oleh yang menjual baju, buku, pin, gelang, hingga payung dengan gambar Munir.
Museum Munir yang baru, tuntas sejak Maret 2021. Sayangnya bangunan yang senilai 8,2 M itu tak kunjung dioperasikan hingga sekarang.
“Bahaya terbesar dalam perjuangan untuk keadilan dan HAM di sini (Aceh) bukanlah ancaman, tekanan, pemerasan, penyiksaan atau teror-teror lainnya. Bukan itu semua. Namun (bahaya terbesar) adalah ketakutan yang ada dalam kepala kita. Ketakutan yang ada dalam kepala kita. Sistem yang ada kepada kita. Ketakutan inilah rintangan terbesar perjuangan. Kita tidak boleh membiarkannya tertanam dalam kepala kita. Kita harus menyingkirkannya jika kita ingin imian kita tentang keadilan dan demokrasi dari kenyataan” Pidato Munir di Banda Aceh, Februari 2000 yang terdapat di tulisan besar Museum Munir.
Untuk siapapun yang berkunjung ke sini bisa langsung saja mampir ke alamat yang sudah tertera, selain dapat berkunjung pengunjung juga bisa mendukung Omah Munir dengan berdonasi sebagai bagian dari perjuangan Hak Asasi Manusia di Indonesia melalui rekening 777444001 (BNI).
Tampak bagian dalam Museum Munir yang sepi dan sunyi-Dokumen Pribadi-
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: