Mafia Bola dan Piala Dunia

Mafia Bola dan Piala Dunia

Ilustrasi mafia bola dan piala dunia-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Banyak yang meyakini bahwa jaringan mafia itu ada, tetapi tidak mudah membuktikannya. Kasus tragedi Kanjuruhan menjadi indikasi adanya jaringan mafia itu. Tragedi tersebut menewaskan 135 orang, tetapi tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab secara memadai. Pengadilan hanya menghukum ringan petugas lapangan dan membebaskan petugas kepolisian.

Pucuk pimpinan di PSSI tidak tersentuh hukum. Pimpinan PT Liga Indonesia juga lolos dari hukum. Pemilik klub Arema juga bisa melenggang tanpa memberikan tanggung jawab yang berarti. 

Tim independen yang dibentuk pemerintah juga hanya menjadi macan kertas yang ompong. Rekomendasi agar semua pimpinan PSSI dan eksekutif komite untuk mengundurkan diri tidak digubris. Separuh dari anggota eksekutif komite lama masih tetap terpilih dalam kabinet baru di bawah Erick Thohir.

Setelah tragedi Kanjuruhan terjadi, Presiden Jokowi segera mengirim Erick Thohir –ketika itu belum menjadi ketua PSSI– untuk menemui Presiden FIFA Gianni Infantino untuk melobi agar Indonesia terhindar dari sanksi. Yang paling mengkhawatirkan ketika itu adalah sanksi pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah. Indonesia pun lolos dari sanksi.

Atas restu Presiden Jokowi, Erick Thohir kemudian terpilih sebagai ketua umum PSSI dengan tetap memakai jaringan lama PSSI, yang sering diasosiasikan sebagai mafia sepak bola. Jaringan tersebut sudah bercokol puluhan tahun dan sulit bagi Erick Thohir untuk melawannya. Karena itu, Erick Thohir memilih berkompromi. 

Jaringan lama itu menjadi bagian dari salah urus PSSI yang menyebabkan fasilitas stadion tidak layak untuk memenuhi standar FIFA. Selama ini PSSI menutup mata terhadap klub-klub yang berlaga di Liga 1 tanpa mempunyai stadion yang memadai. Praktik itu berlangsung bertahun-tahun dan menjadi langgeng karena adanya jaringan mafia di baliknya. Ketika kemudian FIFA melakukan inspeksi terhadap stadion-stadion, terungkaplah borok tersebut. 

Kali ini FIFA tidak mau lagi berkompromi. Infantino tidak mau menanggung risiko. Di Qatar ia berani pasang badan soal pelarangan simbol LGBT dan pelarangan penjualan alkohol. Sebab, secara teknis Qatar sangat siap sebagai penyelenggara. 

Tetapi, di Indonesia Infantino tidak berani berspekulasi karena ia tidak yakin Indonesia siap secara teknis. Infantino mengabaikan pertemanan dengan Erick. Vonis mati pun dijatuhkan. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: