Nukleus Peradaban Yahya Staquf
ILUSTRASI Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Tentu yang dimaksud itu bukan pemerintahan seperti yang dipahami dalam administrasi negara. Tapi, lebih bagaimana organisasi NU, dari pusat sampai ranting, bisa menggerakkan program-program yang bermakna bagi warganya. Setiap program harus jelas output dan outcome-nya. Nyata hasil dan dampaknya.
NU, menurutnya, harus menjalankan fungsi pemerintahan sesuai dengan kapasitasnya. Yakni, menyediakan layanan kepada warga dan memobilisasi sumber daya untuk didistribusikan kepada warga. Semua itu bisa dijalankan NU, terutama untuk hajat-hajat terkait dengan keagamaan.
Terkait hal tersebut, PBNU di bawah kepemimpinanya telah menyusun indikator-indikator kinerja untuk mengevaluasi dan memonitor hasil kerja seluruh pengurus dan unit-unit kerjanya. Di seluruh lapisan. ”Kalau kinerjanya berhasil dirasakan warga, mereka akan mendapatkan reward. Kalau tidak, ya mendapatkan sanksi,” katanya.
Contohnya di bidang kesehatan. PBNU mematok indikator kinerja pengurus cabang minimal harus mempunyai klinik. Tingkat PWNU harus memiliki rumah sakit dan seterusnya. Demikian juga program-program di sektor lainnya. Hanya dengan demikian, kehadiran pengurus di setiap lini akan dirasakan manfaatnya.
Staquf mengakui bahwa hal seperti itu merupakan hal baru dalam NU. Belum pernah terjadi sebelumnya. Belum pernah menjadi gagasan dan program aksi dalam kepengurusan NU sebelumnya. Karena itu, belum tentu semua pengurus di setiap lini memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai berbagai target capaian tersebut.
Makanya, ia perlu membentuk satuan tugas. Semacam task force. Semacam staf kepresidenan dalam pemerintahan. Yang tugasnya memastikan pembinaan keluarga maslahah sebagai nukleus peradaban bisa berjalan. Tidak hanya menjadi program, apalagi omongan dari atas podium. Tapi, menjadi realitas sosial yang akan menjadi intinya inti peradaban.
Satgas itu bernama Satgas Gerakan Keluarga Maslahah NU (GKMNU). Satgas yang diketuai Ketua Umum PP GP Ansor yang juga Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas itu bertugas menjalankan instruksi PBNU, membina, mendampingi, dan membantu membangun akses semua lini kepemimpinan NU untuk pelaksanaan gerakan tersebut.
Jadi, ada dua pilar strategis NU dalam membangun peradaban baru dalam abad kedua keberadaan jamiyah ini. Pilar diplomasi dunia dengan menginisiasi fikih peradaban dan penguatan keluarga maslahah untuk membangun masyarakat baru yang bahagia, sejahtera, dan taat beragama. Jamiyah atau organisasi NU harus menjadi penggerak utama kedua pilar itu.
Sejak Staquf menjadi ketua umum PBNU, saya melihat pemikiran-pemikiran Staquf yang sangat sosiologis. Artinya, ia mengembangkan model kepemimpinan dan gerakan baru dengan basis pemahaman teori-teori sosiologi yang pernah digelutinya ketika menjadi mahasiswa di UGM sekaligus menjadi santri Ponpes Al Munawir, Krapyak, Yogyakarta.
Karena itu, seusai peluncuran GKMNU di Jakarta lalu, saya nyeletuk tentang hal tersebut. ”Wah, ilmunya ketum PBNU saat kuliah sosiologi ini berkah betul. Sehingga, pandangannya tentang organisasi dan problem masyarakat sangat sosiologis,” kata saya di depan para pengurus PBNU lainnya.
Seperti biasanya, Staquf menanggapi hal itu dengan nada guyonan. ”Untung saya tidak sampai lulus kuliah sosiologi. Kalau lulus, paling-paling hanya menjadi orang seperti Najib (Najib Azka, Red),” katanya sambil ketawa. Najib Azka adalah adik kelasnya semasa kuliah yang kini menjadi dosen UGM sekaligus wasekjen PBNU.
Bisa-bisa saja! (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: