Workshop Menganyam Ketupat bersama Kampoeng Dolanan Bangkitkan Tradisi Kupatan

Workshop Menganyam Ketupat bersama Kampoeng Dolanan Bangkitkan Tradisi Kupatan

Serunya acara workshop yang diikuti pengunjung umum bersama komunitas Kampoeng Dolanan dalam merangkai ketupat yang identik dengan suasana Lebaran, di pelataran kompleks Balai Pemuda, Surabaya. -Julian Romadhon-

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Komunitas Kampoeng Dolanan menggelar workshop menganyam ketupat di pelataran Alun-Alun Surabaya atau Balai Pemuda. Praktik yang dilakukan terbuka hingga siapa saja boleh ikut. Masyarakat pun antusias.

 

Seminggu setelah Idulfitri, masyarakat Jawa mengadakan tradisi kupatan. Kultur yang dipercaya merupakan jejak warisan Wali Songo dan telah berlangsung turun-temurun. Menganyam bungkus ketupat perlu keterampilan. Lazimnya ketupat berbentuk trapesium.

 

Bagi komunitas Kampoeng Dolanan, kegiatan merangkai bungkus ketupat adalah salah satu bentuk permainan tradisional. Para pembuatnya duduk bersama dan menganyam ketupat dari bahan daun janur. Dari kegiatan itu muncul kebersamaan dan keakraban.

 

Budaya menganyam itulah yang hendak dilestarikan kembali oleh para pegiat Kampoeng Dolanan. Pada Kamis, 27 April 2023, Mustofa Sam dan istrinya, Pungki Purita, menyiapkan helai-helai janur dan meletakkannya di pelataran Balai Pemuda. "Kami ingin mengajak pengunjung untuk bersama-sama membuat bungkus ketupat. Kami yakin, meski banyak yang masih melestarikan tradisi kupatan, tapi kalau disuruh membuat ketupat, belum tentu bisa," ujar Mustofa. 

 

Ia dan isterinya pun segera menganyam satu demi satu daun janur. Apa yang mereka lakukan pun mengundang perhatian beberapa orang. "Mari pak, bu, barangkali mau bersama-sama membuat ketupat," ujar Pungki pada beberapa pengunjung itu. 

Dua di antara mereka tertarik. Yakni Kalya Susanti dan Makhfudi. Keduanya mengaku belum begitu mahir menganyam ketupat. "Pernah bisa sih dulu. Waktu saya masih kecil. Tapi sekarang sudah lupa," ujar Makhfudi. Kemudian tertawa.

 

Mustofa pun membimbing keduanya. Step by step. Mulai dari menempatkan janur dan menggulungnya di telapak tangan, kemudian menjadikannya berongga. Ujung janur dimasukkan dalam rongga-rongga itu, hingga membentuk ikatan yang kuat. Saling terkait, lantas dalam beberapa langkah, wujud trapesiumnya mulai tampak. "Ah iya, begini ya caranya," ujar Kalya. 

 

Kegiatan itu membangkitkan memorinya tentang masa lalu, saat dia dan beberapa kerabat berkumpul bersama, membuat ketupat. "Dulu ada yang bagian merangkai, ada yang bertugas adang atau menanak nasi," sahut Pungki. Mereka pun membenarkan. Nostalgia.

 

Seorang pengunjung lain, Ferry Ardi, warga Surabaya, tertarik ikut. Ia duduk lalu merangkai sembari mengawasi puterinya yang bermain-main di sekitar kolam berasap di bagian barat Balai Pemuda. 

 

Sembari menganyam, mereka saling berbagi informasi soal tradisi kupatan. "Sebagai ajang silaturahmi. Membangun kebersamaan antara kerabat dan masyarakat. Bahkan dalam proses pembuatannya, kebersamaan itu telah tercipta," ujar Mustofa. 

 

Tradisi kupatan selain dilakukan di rumah kerabat, biasanya dalam lingkup masyarakat, kupatan digelar di masjid atau musala. Warga bahu-membahu membuat ketupat dan memasukkan nasi di dalamnya. Lalu sebelum acara dilangsungkan, berbagai hidangan seperti opor, kari ayam, dan lain-lain, disajikan sebagai lauk utama.

 

Dalam acara itu mereka makan bersama sembari saling bersilaturahmi. Tentu sebagai ungkapan syukur telah menjalani puasa selama satu bulan. "Seperti makna kupat, yang berarti ngaku lepat, atau mengaku salah. Artinya, meminta maaf atas segala kesalahan. Tradisi Jawa memang merupakan semesta simbol. Ketupat salah satunya," ujar pria 30 tahun itu.

 

Tak hanya pengunjung paruh baya, beberapa anak muda turut bergabung. Salah satunya Nurul Izza. Dia tampak asyik menganyam ketupat. Didampingi Pungki. Tak lama, hadir rombongan dari Kediri. Rata-rata para ibu yang sedianya ingin melihat pesona Balai Pemuda.

 

Salah satu dari mereka, Fatmi, menawarkan diri untuk ikut menganyam ketupat. "Wah, kalau saya sudah biasa menganyam kupat ini," ujarnya. Lantas mulai merangkai. Tangannya telah terampil. Bahkan tak sampai 3 menit, rangkaian ketupat itu telah selesai. Ia pun membuat beberapa ketupat lain. 

 

"Monggo hasil karyanya kalau mau dibawa pulang," tawar Mustofa. Fatmi tersenyum. "Saya bawa satu saja. Sisanya untuk mbak-mbak atau mas-mas yang lain saja," jawabnya. Sore itu Fatmi membuat empat ketupat. Tiga diletakkan di tumpukan ketupat-ketupat yang sudah jadi.

 

Komunitas Kampoeng Dolanan adalah kelompok pelestari permainan tradisional. Mereka eksis sejak 2016 dan memiliki 300 anggota. "Dengan tradisi permainan lama, akan menumbuhkan kebersamaan dan keakraban. Siapa saja dapat mengenal Indonesia lebih jauh melalui permainan," ujar Mustofa. 

 

Ayah satu anak itu sangat yakin jika permainan tradisional dapat kembali dimainkan oleh anak-anak zaman sekarang. Keyakinan itu telah terbukti dengan viralnya permainan lato lato. "Itu permainan lama sekali. Akhirnya viral lagi. Tanda bahwa jika terus digaungkan, maka permainan tradisional akan lestari kembali," terangnya.

 

Dengan upayanya itu, Mustofa dan rekan-rekannya telah berkeliling ke berbagai pulau di Nusantara. "Mempelajari permainan tradisional setempat, juga mengajarkan permainan tradisional yang umum. Anak Indonesia harus diberi wawasan tentang permainan yang pernah eksis pada masa lalu, kemudian diajak bermain," ungkapnya.

 

Ke depan, komunitas Kampoeng Dolanan akan mengunjungi Banda Neira. Berkegiatan bersama anak-anak di sana. Sesuai tujuan yang telah mereka tanamkan: Mengenal Indonesia melalui permainan tradisional. (Guruh Dimas Nugraha)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: