Nasib Buruh Kini: Berbenah atau Kalah

Nasib Buruh Kini: Berbenah atau Kalah

Ilustrasi Hari Buruh.--

MAY DAY bukan sebatas momentum peringatan Hari Buruh setahun sekali yang umumnya diwarnai dengan aksi demonstrasi di setiap penjuru negeri. MAY DAY memiliki semangat emansipasi yang harus diresapi, terutama oleh Buruh dan pelaku industri dalam negeri, demi mewujudkan ekosistem industri yang stabil dan berkelanjutan. 

Pentingnya memaknai dan menghidupi semangat peringatan Hari Buruh mengingatkan bahwa saat ini dunia industri sedang dihadapkan pada tantangan besar era disrupsi. Arus kemajuan teknologi dan informasi memaksa setiap buruh dan pelaku industri harus bermanuver dengan dinamis untuk menyesuaikan diri demi bertahan menghadapi berbagai perubahan.

Kemajuan teknologi membuat persaingan dalam dunia industri makin kompetitif sehingga mendorong terciptanya discovery, inovasi, dan kompetensi baru dalam bermacam-macam sektor. Hal tersebut berjalan searah dengan perkembangan tren terbaru sebagai kebutuhan pasar dunia industri yang terus berubah. 

Tuntutan kebutuhan semacam itu harus direspons dengan sigap oleh dunia industri melalui kinerja buruh yang terampil dan berkompeten. Saat ini buruh tidak hanya dituntut untuk dapat bekerja, tetapi juga harus memiliki nilai tambah tersendiri. Sebab, permasalahan yang dihadapi perusahaan kian kompleks. 

Kompetensi seperti berpikir kritis dalam memecahkan persoalan, kemampuan berpikir kreatif, serta memiliki kecerdasan emosional dan sosial yang baik dinilai menjadi kebutuhan buruh saat ini agar tetap eksis di dunia industri. Oleh sebab itu, perusahaan memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam meningkatkan kapasitas para pekerjanya.

Upaya meningkatkan kapasitas buruh merupakan kewajiban dan tanggung jawab perusahaan dalam memenuhi hak-hak pekerja. Mereka berhak untuk terus belajar dan mengembangkan skill yang sesuai dengan kebutuhan saat ini. Apalagi, saat ini para buruh atau pekerja tidak hanya berkompetisi dengan sesamanya, tetapi juga bersaing dengan robot dan kecerdasan buatan yang sewaktu-waktu dapat mengambil alih peran manusia. 

Terlebih, jenis pekerjaan yang bersifat teknis dan mengutamakan sistem otomatisasi tentu memiliki risiko tinggi digantikan oleh kecerdasan buatan. Meski demikian, para buruh atau pekerja harus tetap optimisyis karena hadirnya kecerdasan buatan juga mendorong mereka terus berkembang meningkatkan kompetensi di sektor baru yang tidak dapat diperankan kecerdasan buatan.

 

Buruh vs Kecerdasan Buatan

Penggunaan kecerdasan buatan dalam dunia industri menjadi sebuah dilema tersendiri. Sebab, kehadirannya menjadi solusi praktis bagi perusahaan sekaligus menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan pekerjaan buruh. Kecerdasan buatan menawarkan efisiensi dan produktivitas yang lebih baik daripada buruh sehingga sangat memungkinkan dapat menggantikan peran buruh. 

Apabila hal tersebut dibiarkan seutuhnya tanpa ada kontrol kuat dari pemerintah, tentu akan banyak jumlah buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Permasalahan yang muncul berikutnya adalah jumlah pengangguran tentu akan meningkat dan berefek domino dalam memunculkan berbagai masalah sosial baru seperti kemiskinan, kesenjangan, dan kriminalitas.

Ancaman kecerdasan buatan terhadap eksistensi pekerjaan buruh perlu disikapi dengan bijak. Kenyataan yang tidak dapat terhindarkan itu harus dihadapi dengan sebuah keberanian dan semangat mengadaptasikan diri sebaik-baiknya dengan arus perubahan. Kecerdasan buatan tidak serta-merta menimbulkan efek buruk terhadap pekerjaan buruh. Hanya, kehadirannya mampu menggeser sejumlah pekerjaan lama maupun memunculkan sejumlah pekerjaan yang sebelumnya tidak ada. 

Sebuah penelitian yang dilakukan McKinsey memperkirakan bahwa pada rentang tahun 2014 hingga 2030 diproyeksikan akan muncul 46 juta pekerjaan baru dan menghilangkan 23 juta pekerjaan lama. Penelitian itu menunjukkan bahwa adanya desakan melakukan shifting pada perusahaan sekaligus menuntut para buruh atau pekerja berusaha  meningkatkan skill yang dibutuhkan di masa depan.

Tuntutan perusahaan untuk melakukan shifting tidak hanya dengan mengubah model bisnis, tetapi juga upaya meningkatkan skill dan kompetensi para pekerjanya agar tetap relevan dengan kebutuhan saat ini. Pergeseran peran dan posisi pekerja dalam beberapa sektor mesti dilakukan untuk mendorong kinerja yang lebih adaptif. Oleh karena itu, perusahaan berkewajiban meningkatkan sumber daya manusia yang dimilikinya melalui berbagai pelatihan yang berbasis pada teknologi terbarukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: