Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober: Akhirnya Bing Ditangkap (2)

Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober: Akhirnya Bing Ditangkap (2)

Ny Oei Lian Bing, bersama puteri ketiganya (tengah), Suyinani Gunawan, dan Soe Tjen Marching (paling kanan). -Soe Tjen Marching-

HARIAN DISWAY - Apa yang ditakutkan ibunda Soe Tjen Marching akhirnya terjadi. Oei Lian Bing, suami Yuliani, ditangkap dan dipenjarakan. Soe Tjen berkisah tentang ayahnya sesuai dengan tuturan ibundanya kepadanya. 
"Foto papa saya? Yang tersisa hanya ini," ujar Soe Tjen yang berkenan bercerita tentang peristiwa pahit itu.

Ditunjukkannya kepada Harian Disway foto yang telah kusam. Bagian bawahnya buram. Tapi wajah Bing, panggilan ayah Soe Tjen itu, cukup terlihat jelas. Bersama istrinya dan tiga anak kecil. "Yang tiga ini kakak-kakak saya. Waktu itu saya belum lahir," tambahnya.

Garis wajah Bing mencitrakan sosok tegas. Dalam foto itu ia tersenyum. Seperti orang yang ramah. Jauh berbeda dari kisah yang dituturkan Soe Tjen bahwa papanya sangat keras. Temperamen. Mungkin karena foto itu diambil sebelum kejadian berdarah 1 Oktober 1965.

Peristiwa penangkapan pada 1966 itu memang mengubah segalanya. Bing dipenjarakan oleh bangsanya sendiri. Bangsa yang selama ini telah ia perjuangkan dengan darah dan keringat. Kulitnya putih, matanya sipit. Meski keturunan Tionghoa, merah putih ada dalam denyut nadinya. 

Ia seorang Indonesia. Hanya ia bergabung dengan organisasi yang dianggap mengancam. Organisasi yang pasca pembunuhan para jenderal 1965, anggotanya dikejar-kejar. Ditangkap bahkan dibunuh.

Padahal Bing bergabung dengan partai itu atas dasar ideologi. Tak tahu menahu kejadian berdarah itu. Itulah yang membuat trauma Yuliani sangat dalam. "Sampai sekarang Mama masih ada enggan disebut-sebut namanya. Beliau masih sangat takut. Walaupun Soeharto sudah jatuh, trauma itu masih ada," katanya.
Keluarga Oei bersama ketiga anaknya. Ketika itu Soe Tjen Marching belum lahir. Soe Tjen Marching bercerita banyak hal, tentang kisah yang diceritakan mamanya padanya. -Soe Tjen Marching-

Setelah penangkapan Bing, Yuliani yang semula bekerja di sekolah Tionghoa, kehilangan pekerjaan. Sebab Orde Baru menutup semua sekolah Tionghoa dan segala hal berbau etnis tersebut. Maka secara total mama Soe Tjen berhenti bekerja sebagai guru.

Penghasilan keluarga yang semula didapat dari dua orang, menjadi hilang sama sekali. Terlebih Yuliani tak tahu suaminya dipenjara di mana. "Untuk mendapat tambahan modal, mama saya berjualan," ungkap Soe Tjen. 

Saat papanya ditangkap, mamanya sedang mengandung anak ketiga. Ketika Bing menjalani hukuman tanpa pengadilan, anak ketiganya lahir. Maka praktis mamanya menghidupi tiga anak seorang diri. "Yang miris, saat itu rumah kami rusak. Harus diperbaiki beberapa bagian. Jadi sembari mama bekerja dan memperbaiki rumah, tiga kakak saya dititipkan pada nenek dan kerabat terdekat," ujar perempuan kelahiran Surabaya, 1971 itu.

Rupanya saat kejadian pasca-penangkapan, kakak tertua Soe Tjen sempat mengalami perlakuan kurang baik dari kerabat tempat ia dititipkan. Pengalaman pahit itu membekas hingga kini. Begitu banyak luka, begitu banyak penderitaan yang dialami keluarga Bing.

Setahun setelah peristiwa 1 Oktober 1965. Ibunda Soe The. harus susah payah bekerja seorang diri untuk mencukupi kebutuhan keluarga. "Kadang untuk makan tiga anak Mama hanya mampu membeli sebutir telur. Jadi Mama mengakalinya dengan didadar. Telur dicampur air supaya bisa dibagi banyak orang," ungkapnya.

Soe Tjen juga mengalami masa-masa itu. Setelah dia lahir, keluarganya masih hidup susah. Mereka tinggal di rumah kecil yang ditempati enam orang. Di sela bekerja dan menghidupi anak-anak, mama Soe Tjen terus berusaha mencari tahu keberadaan suaminya. Jika dipenjara, dipenjarakan di mana? Jika mati, di mana jasadnya dikuburkan? Atau paling tidak dia meminta kepastian apakah suaminya masih hidup atau telah dibunuh.

Banyak korban kekejaman peristiwa '65 yang tak diketahui nasibnya. Mati, hilang, pulang tinggal nama, dan semacamnya. Jadi buat keluarga dari orang yang ditangkap jangan terlalu berharap terlalu banyak. Sebab pada zaman itu, semua serba tidak pasti.
Ny Oei Lian Bing, ibunda Soe Tjen Marching, yang merasakan pahit getirnya kejadian 1 Oktober 1965. -Soe Tjen Marching-

Namun, informasi yang cukup jelas akhirnya datang. Dari seorang kawan.  Bing masih hidup dan kini ditahan di sebuah penjara di Surabaya. Soe Tjen tak menyebut nama penjara itu karena mamanya tak berkenan. Yang jelas penjara itu begitu kelam, sempit, pengap. Dindingnya penuh lumut. Kusam dan berbau tak sedap. Jeruji-jerujinya berkarat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: