Pisah di Terminal Tirtonadi, Istri Iris Penis Suami

Pisah di Terminal Tirtonadi, Istri Iris Penis Suami

Ilustrasi istri potong kelamin suami di Solo.-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

3) Apakah deskripsi itu dapat menangkap keparahan gejala depresi?

Di riset itu disebutkan bahwa korban pemutusan hubungan romantis dipastikan mengalami depresi, disebut major depression inventory (MDI). Kondisi korban seperti itulah yang sangat membahayakan keselamatan pasangan yang memutuskan, dan mengatakan pemutusan hubungan.

Gampangnya, putus cinta itu semudah membalik telapak tangan. Tapi, orang yang mengatakannya berada dalam posisi bahaya.

Disebutkan, pasangan yang diputuskan (diceraikan) mengalami perasaan dikhianati. Itu merupakan parameter penting dari patah hati, yang konsisten dengan penelitian tersebut.

Dalam riset tersebut, komponen berlabel ”emosi negatif” diekstraksi dari akibat penolakan dan menimbulkan kemarahan korban sebagai variabel penting untuk menentukan tingkat depresi yang bersangkutan.

Korban mengalami tiga hal utama. A) Perasaan ditolak. B) Perasaan sangat marah. C) Kehilangan mendadak.

Dari situlah korban akan melakukan pembalasan. Bagai anak kecil kehilangan mainan. Ia bakal mengamuk seketika atau meledak beberapa saat setelah ucapan: Cerai.

Dalam kasus potong penis itu, korban awalnya justru YC, yang diceraikan. Begitu IPN menyatakan ”talak”, YC mendadak gelap mata. Galau luar biasa. Maka, ketika dia membeli cutter di terminal, entah benar-benar sesuai rencana untuk mengupas buah atau tidak. 

Pastinya, cutter tersebut sebagai barang bukti hukum, pemotong penis IPN. Posisi YC yang semula korban berbalik arah jadi pelaku kejahatan.

Jadi, menyatakan cinta dan memutus cinta gampang dilakukan. Tapi, kalau para pelaku salah menerapkannya, akibatnya bisa fatal. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: