Tefa (Teaching Factory) Sarana Utama Pendidikan Vokasi
TEFA dalam bentuk pengobatan tradisional sudah dipraktikkan di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga. -Humas Fakultas Vokasi Unair untuk Harian Disway-
SISTEM pendidikan di Indonesia pada era globalisasi ini mulai bertransformasi mengikuti perubahan sosial dan perkembangan teknologi digital. Kini sistem pendidikan –baik pada tingkat dasar, menengah, maupun tinggi– mulai ditata agar bisa relevan dengan kebutuhan dunia usaha/dunia industri.
Berbicara pada konteks pendidikan tinggi, mahasiswa saat ini tidak hanya menjadi objek transfer ilmu pengetahuan teoretis dari dosen, tetapi juga menjadi subjek yang ”membekali dirinya sendiri” dengan keterampilan praktis yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
Kalimat ”membekali dirinya sendiri’ bukan sebuah keangkuhan dari mahasiswa, melainkan sebagai bentuk kebebasan bagi mereka untuk mengikuti kegiatan di luar kelas yang bisa memberikannya keterampilan (skill) yang dibutuhkan dalam dunia kerja nanti.
Mahasiswa diberi ruang gerak yang bebas untuk menempa diri agar bisa bersiap menghadapi kompetisi di ”pasar” tenaga kerja. Adapun dalam konteks ini, dosen berperan sebagai fasilitator yang membantu mahasiswa untuk mengasah keterampilan yang ingin ditekuni.
Ruang gerak yang bebas bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilan di luar kelas saat ini bisa leluasa dilakukan setelah dicetuskan Kampus Merdeka Belajar. Kebijakan merdeka belajar-kampus merdeka yang tertuang dalam Peraturan Mendikbudristek No 3 Tahun 2020 memberikan hak kepada mahasiswa untuk belajar di luar program studi selama tiga semester.
Di dalam kebijakan tersebut, pemangku kebijakan mendorong institusi pendidikan untuk mengimplementasikan pendekatan teaching factory (tefa). tefa menjadi pendekatan yang inovatif dan efektif dalam rangka mengintegrasikan antara dunia pendidikan dan dunia industri.
Teaching Factory sebagai Pendekatan Pembelajaran
Secara sederhana, tefa didefinisikan sebagai pendekatan baru di dunia pendidikan yang mengombinasikan antara pembelajaran berdasar teori dan praktik. Institusi pendidikan bisa mengimplementasikan tefa, salah satunya, dengan cara menjalin kerja sama dengan DUDI (dunia usaha dunia industri) untuk merumuskan kurikulum ”khusus” agar mahasiswa bisa belajar sekaligus praktik langsung di lapangan.
Melalui penerapan kurikulum tersebut, mahasiswa bisa belajar dalam lingkungan yang otentik, riil, dan sesuai dengan kondisi dunia kerja. Mahasiswa bisa dilibatkan dalam proyek-proyek yang penuh misi dan tantangan. Tujuannya ialah memberikan bekal pengalaman dan keterampilan manajerial yang bisa diterapkan di dunia kerja nanti.
Selain menjalin kerja sama dengan DUDI, ada tiga komponen lain yang perlu dipersiapkan untuk menerapkan tefa. Tiga komponen itu meliputi sarana dan prasana, mentor industri, dan proyek kolaboratif.
Pertama, sarana dan prasana menjadi penting untuk disiapkan agar mahasiswa memiliki wadah, ruang, dan media untuk melatih keterampilan. Sarana dan prasarana itu bisa berupa alat praktik, ruang praktik, laboratorium, dan fasilitas lain yang mendukung upgrade skill mahasiswa.
Kedua, mentor industri menjadi aktor yang paling berperan penting dalam mendukung mahasiswa untuk menjalani misi dan tugas-tugas yang diberikan selama proyek. Mentor itu ibarat ”jembatan” yang menjadi penghubung antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Perannya ialah mendistribusikan tugas-tugas yang berhubungan dengan pekerjaan kepada mahasiswa. Tentu perlu upaya yang ekstra untuk mendistribusikan karena komunikasi yang dibangun antara pekerja dan mahasiswa sangatlah berbeda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: