Kemelut Pernyataan Menteri Pertahanan
Ilustrasi Menhan Prabowo Subianto--
PEKAN lalu, 3 Juni 2023, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto dalam statement-nya menawarkan solusi perdamaian bagi Rusia dan Ukraina pada forum ilmiah The International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 2023 di Singapura.
Dalam proposalnya yang disampaikan di hadapan perwakilan dari pengamat pertahanan dari seluruh dunia tersebut, Prabowo menjelaskan empat poin.
Pertama, 15 kilometer di belakang posisi pasukan kedua negara. Kedua, diturunkannya pasukan PBB untuk mengawasi zona demiliterisasi (DMZ). Ketiga, dikerahkannya pasukan perdamaian PBB. Keempat, diselenggarakannya referendum di wilayah sengketa.
Demiliterisasi tawaran Prabowo itu sontak mendapatkan reaksi keras dari pihak Ukraina yang menganggap bahwa pernyataannya mengandung keanehan. Meski, di sisi lain, duta besar Rusia untuk Indonesia menyatakan dukungannya terhadap pernyataan sang menteri pertahanan.
Posisi Indonesia secara Riil
Menanggapi pernyataan Prabowo itu, perlu dipahami tiga hal terkait posisi Indonesia yang kerap ditampik dalam narasi yang beredar di media secara umum. Pertama, Prabowo Subianto berbicara dalam kapasitasnya sebagai menteri pertahanan terlepas telah ditampik oleh menteri luar negeri dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI.
Sebagai undangan, tentu tidak mungkin Prabowo asal menyiapkan paparannya sebagai seorang pribadi terlepas dari posisinya sebagai menteri pertahanan. Poin itu mengindikasikan hubungan yang kurang sinkron antara Taman Pejambon (Kementerian Luar Negeri) dan Medan Merdeka Barat (Kementerian Pertahanan).
Dua institusi yang bertindak menjadi tiga pilar kementerian yang disebutkan dalam konstitusi itu sama-sama memikul tanggung jawab yang besar dalam menentukan sikap dan posisi Indonesia terhadap negara lain.
Kedua, pernyataan Prabowo telah sesuai dengan data dan pengalaman-pengalaman yang telah terjadi di dunia internasional. Menteri pertahanan dalam sambutannya menyebut penerapan DMZ dirasa cukup efektif untuk meredam ketegangan yang terjadi di antara Korea Utara-Korea Selatan, Sudan-Sudan Selatan, dan Kuwait-Irak sampai detik ini.
Belum lagi poin keterlibatan PBB, yang sampai saat ini menunjukkan masih ada kealpaan dari organisasi pemerintahan internasional tersebut dalam aksinya untuk menunjukkan konsep responsibility to protect (R2P). Meski R2P terakhir ditunjukkan pada kasus Libya berujung pada kegagalan, PBB dapat menunjukkan R2P yang ideal dengan menerjunkan pasukan penjaga perdamaian sebagaimana yang gencar dilakukan di Timur Tengah.
Ketiga, narasi yang disampaikan menteri pertahanan adalah bertindak sebagai wakil dari negara-negara ASEAN. Tawaran-tawaran solusi yang dipaparkan merepresentasikan posisi Indonesia sebagaimana negara-negara ASEAN berada di nonblok, terutama sikap untuk tidak mau bergabung dengan aliansi militer mana pun.
Sejarah menunjukkan keengganan Indonesia untuk terjebak dalam kepentingan praktis dari era Perang Dingin sampai saat ini. Oleh karena itu, perlu dicermati bagaimana pernyataan-pernyataan Prabowo terkait posisi Indonesia yang tidak akan pernah memihak pada negara yang sedang bersengketa.
Belum lagi fakta bahwa presiden sebelumnya telah melakukan diplomasi ”ulang-alik” dari G7 ke Ukraina dan diteruskan ke Rusia sesaat setelah diangkat sebagai presidensi G20 tahun lalu. Justru peran kepemimpinan yang ditekankan dalam menghadapi situasi krisis saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: