Kecelakaan Cakung Diduga Pembunuhan

Kecelakaan Cakung Diduga Pembunuhan

Ilustrasi kasus kecelakaan di Cakung, Jakarta.--

Tubuh pemotor dilindas roda kiri depan mobil, lalu terlindas lagi roda kiri belakang mobil. Kena bagian perut dan dada. Pemotor tergeletak di aspal jalan. Ia berusaha bangkit, tapi setengah sedetik, rebah. Tak bergerak lagi. 

Mobil sama sekali tidak melambat. Terus melaju. Sampai hilang dari mata kamera.

Mobil Avanza silver bernopol B 2926 KFI. Motor Honda PCX dengan nopol B 5595 KCH. 

Durasi video 18 detik, kelihatan jelas. Filmnya jernih. Beredar di medsos dan viral. Esoknya, OS menyerahkan diri ke Polres Jakarta Timur.

Tubuh Moses ditolong warga, dinaikkan ambulans yang datang kemudian. Dilarikan ke RS Mitra Kelapa Gading. Dua jam kemudian Moses meninggal.

Adik Moses, Nicolas Catra Prakoso, kemudian mendatangi RS. Moses sudah meninggal. Nicolas kepada wartawan mengatakan, bagian perut sampai tulang dada jenazah ambles selebar ban mobil. ”Kata dokter, kakak saya meninggal karena paru-paru hancur,” ujarnya.

Bisa jadi, dari kronologi di CCTV itu, penyidik menggali kasus. Hasilnya, diduga penabrakan itu sudah direncanakan.

Pembunuhan motif kecelakaan belum pernah terungkap di Indonesia. Semua kecelakaan lalu lintas diterapkan pasal kecelakaan yang mengakibatkan orang meninggal dunia. Bukan pembunuhan.

Di India, dikutip dari Forensic Research & Criminology International Journal, 30 Oktober 2015, berjudul Homicide disguised as road-traffic accident: a case-report, diungkapkan, mengapa ada pembunuh memilih cara RTA (road traffic accident). 

Ada dua alasan. Pertama, pelaku bisa kabur dan polisi (di India) akan menganggap itu sebagai kasus tabrak lari, bukan pembunuhan. Kecelakaan lalu lintas kurang diperhatikan polisi di India. Atau ditangani dengan santai. Kalau di Indonesia, itu masuk tipiring (tindak pidana ringan).

Kedua, kalau pelaku tidak bisa kabur dan ditangkap polisi, atau menyerahkan diri, pasal yang dikenakan di India juga masuk pasal kecelakaan. Bukan pembunuhan.

Jurnal ilmiah itu ditulis tiga ilmuwan: Ambika Prasad Patra, Anand P. Rayamane, dan Kusa Kumar Shaha dari Jawaharlal Institute of Postgraduate Medical Education & Research, India.

Dari dua alasan itulah, pembunuh di India melihat celah hukum. Memilih cara tersebut dalam melakukan pembunuhan.

”Maka, tidak bijaksana jika penegak hukum mengesampingkan pembunuhan atau bunuh diri saat menangani kasus kecelakaan jalan raya atau kereta api,” tulis mereka.

Di situ disebutkan beberapa contoh kasus pembunuhan yang pembunuhnya merancang pembunuhan bermotif kecelakaan. Paling menarik kasus di Skotlandia. Suami membunuh istri pertama pada 1994. Namun, baru diungkap polisi 2008 atau empat belas tahun kemudian. Setelah pria itu gagal membunuh istri kedua dengan cara yang sama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: