Dibuang Sayang, Kenali Gejala Hoarding Disorder yang Suka Menimbun Barang Nggak Berguna

Dibuang Sayang, Kenali Gejala Hoarding Disorder yang Suka Menimbun Barang Nggak Berguna

LACI yang penuh sesak oleh barang tak berguna. Biasanya karena pemilik sayang membuang barang-barang yang tak berguna.-iStock-

HARIAN DISWAYHoarding Disorder (HD) makin marak dibicarakan belakangan ini. Ini adalah kondisi di mana seseorang merasa sayang untuk membuang sesuatu. Akhirnya barang-barang dibiarkan menumpuk di dalam rumah.

Awalnya, hoarding disorder dikelompokkan sebagai gejala Obsessive-Compulsive Disorder atau OCD. Hal itu dinyatakan dalam Diagnostics and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi ketiga (1980). Sedangkan konsepnya sendiri kali pertama dipaparkan pada 1996. Untuk mendeskripsikan orang yang suka mengumpulkan barang, dan susah membuang barang yang sebenarnya tidak berguna.

Berdasarkan artikel Hoarding Disorder: A Case Study dalam jurnal Frontier Psychiatry, ada beberapa fakta mengenai fenomena ini.
1. Awalnya dianggap sebagai gejala OCD,
2. Dinilai sebagai gangguan sekunder untuk demensia, skizofrenia, cedera otak, autisme, dan lain-lain,
3. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa HD merupakan subtipe dari OCD dengan 18-40% pengidap punya gangguan ini,
4. Akhirnya dinilai sebagai entitas gangguan yang sepenuhnya terpisah dari gangguan lain dalam Statistical Manual of Manual of Mental Disorders Fifth Edition (2013).

Dilansir dari alodokter, penyebab dari gangguan ini belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami kondisi itu, yaitu:
1. Mengalami gangguan mental seperti skizofrenia dan OCD
2. Dibesarkan dalam keluarga yang tidak mengajari cara memilah barang
3. Pernah ditinggalkan oleh orang yang disayangi
4. Pernah mengalami kesulitan ekonomi
5. Pernah mengalami kehilangan harta benda akibat kebakaran atau bencana alam.

Hoarding disorder mempunyai gejala awal yang patut diperhatikan. Penderitanya (disebut juga dengan hoarder atau penimbun) dapat menunjukkan tanda dan gejala sebagai berikut:
1. Sulit membuang barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan
2. Merasa cemas ketika hendak membuang barang yang tidak diperlukan
3. Sulit mengambil keputusan
4. Mencari benda lain dari luar rumah agar bisa ditimbun
5. Merasa tertekan saat benda miliknya disentuh orang lain
6. Menyimpan barang sampai mengganggu fungsi ruangan di rumah
7. Melarang orang lain membersihkan rumahnya
8. Menjauhkan diri dari keluarga dan teman

Jika dibiarkan semakin lama, gangguan ini dapat menyebabkan komplikasi. Jadi, jika merasa mengalami tanda-tanda atau gejala di atas, harus segera ditangani. Sebab, jika dibiarkan, hoarding disorder akan menimbulkan masalah lain seperti:
1. Jatuh atau tertimpa benda-benda yang ditimbun
2. Terjebak di dalam ruangan sempit
3. Terlibat konflik dengan keluarga dan orang sekitar
4. Terisolasi dari lingkungan sekitar
5. Rumah sulit dibersihkan sehingga berisiko menjadi sarang kuman
6. Produktivitas kerja menurun
7. Kebakaran.

Berbeda dengan kolektor barang yang merawat dan menata barang-barang koleksi dengan baik, hoarder menyimpan barang-barang secara sembarangan dan tidak merawatnya. Barang yang disimpan juga tidak memiliki nilai atau kegunaan. Sehingga hanya memenuhi rumah, membuat ruang gerak menjadi terbatas, dan menjadi sampah.

Cara mengatasi gangguan itu adalah dengan psikoterapi. Meskipun tidak dapat menyembuhkan, namun dapat membantu hoarder untuk:
1. Belajar memilah dan memutuskan barang mana yang harus dibuang dan mana yang harus disimpan
2. Menyadari dan memahami apa yang membuat mereka menimbun barang yang tidak berguna. Terapis tidak akan membuang barang timbunan tersebut, tapi akan mendukung penderita untuk melakukannya sendiri
3. Belajar menolak dorongan untuk menimbun lebih banyak barang.

Entah itu hoarding disorder atau memang jorok dan malas, keduanya harus segera ditangani. Cari bantuan profesional dan jangan pernah melakukan self-diagnose jika ada gejala yang dirasakan. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: frontier psychiatry