In Memoriam Li Keqiang, Birokat Visioner dari Tiongkok

In Memoriam Li Keqiang, Birokat Visioner dari Tiongkok

CIUMAN HIDUNG yang merupakan tradisi Maori ini dilakukan oleh seorang sesepuh suku Maori saat menyambut Li Keqiang (kiri) di Wellington, 27 Maret 2017.-MARY MELVILLE-AFP-

BEIJING, HARIAN DISWAY – Jumat, 27 Oktober 2023, Li Keqiang tiada. Mantan PM Tiongkok itu meninggal karena serangan jantung tepat setelah hari berganti. Usianya 68 tahun.

Selama 10 tahun kepemimpinannya, Li mencitrakan diri sebagai birokrat modern. Apalagi, dibandingkan dengan para koleganya yang lebih ’’kolot’’. Li pun sempat disebut-sebut sebagai pemimpin masa depan Tiongkok setelah Xi Jinping.

Li adalah anak pengurus partai level bawah dari Provinsi Anhui yang terbilang miskin. Li juga sempat dikirim ke wilayah pinggiran sebagai buruh. Itu ketika Tiongkok menjalankan Reformasi Budaya pada 1966-1976.

Tetapi, ia tak mau stagnan. Ia kuliah di Universitas Peking. Ambil jurusan hukum. Dan di mata teman-temannya, Li justru sangat kebarat-baratan. Sangat mengagumi teori politik liberal dunia barat.

Tetapi, Li menjadi semakin ortodoks saat menjadi pengurus partai pada dekade 1980-an. Ia sudah menjadi birokrat saat kawan-kawan kuliahnya masih berdemonstrasi pada 1989.


FOTO KENANGAN Li Keqiang (kanan) bersama tokoh Myanmar Aung San Suu Kyi di Beijing, 16 Mei 2017.-NICOLAS ASFOURI-AFP-

Sejak itu, lelaki yang sangat fasih berbahasa Inggris itu melejit. Ia menjadi petinggi partaid I Provinsi Henan dan Liaoning. Li menjabat saat provinsi itu mengalami pertumbuhan ekonomi luar biasa.

Saat menjadi PM pada 2013, Li begitu kagum dengan kepemimpinan Xi ketika mengerek ekonomi Tiongkok. Padahal, sebelumnya ia memandang Xi sebagai rival politik.

’’Sayang sekali Li tidak bisa terus menerapkan kebijakannya untuk mengangkat ekonomi Tiongkok,’’ kata Wang Jiangyu, pengamat dari City University of Hong Kong.

’’Ia adalah orang yang sangat berkomitmen pada pembangunan Tiongkok. Ia adalah intelektual dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan sangat paham dengan ekonomi Tiongkok,’’ kata Berf Hoffman, direktur East Asian Institute di National University of Singapore. (Doan Widhiandono)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: