Demokrasi Fandom

Demokrasi Fandom

Ilustrasi demokrasi fandom-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kenapa bisa demikian? Algoritma bisa menyaring informasi sesuai dengan minat dan preferensi penggunanya. Ada kecenderungan mereka yang bersikap oposisi akan cenderung hanya terpapar dari sikap politik yang oposan. Demikian pula sebaliknya. Jika paparan berlangsung lama, polarisasi dan konflik akan kian mengental. 

Coba perhatikan dengan cermat. Grup media sosial biasanya diisi orang yang memiliki pandangan dan pemikiran politik yang sama. Melalui sistem algoritma, cenderung akan membentuk opini yang pesannya cenderung sama. Juga, cenderung menolak konten yang bertentangan dalam grup media sosial. 

Apalagi, sistem pemilihan langsung mendorong terjadinya personifikasi terhadap kandidat. Format platform media sosial yang membatasi pesan pendek-pendek ikut memperkuat terjadinya pemahaman yang kurang utuh dari setiap pesan yang disebar melalui media sosial. Hasilnya adalah sikap politik yang emosional, bukan rasional.

Karena itu, saya lebih setuju pendapat yang mengatakan bahwa media sosial menghasilkan kecenderungan politik yang baru. Yang berkembang dalam politik bukan terbentuknya polity, masyarakat yang mempunyai kesadaran politik. Tapi, melahirkan para penggemar tokoh politik atau fan politisi.

Fan politik tidak memberikan dukungan karena gagasan atau ideologi politik yang ditawarkan. Tapi, lebih karena figur yang dibentuk melalui paparan pesan yang disampaikan berulang-ulang. Politisi dalam perspektif ini lebih seperti artis yang dicintai dan disenangi karena memuaskan emosinya.

Najwa Shihab, anchor televisi papan atas Indonesia, pernah menyebutnya sebagai politik fandom. Dukung terhadap figur politik telah berkembang tak ubahnya seperti histeria para penggemar artis kelompok band pria atau wanita Korea. Juga, histeria para penggemar drama Korea yang melanda dunia belakangan ini.

Kalau kecenderungan itu yang terus berkembang, tentu bukan kabar gembira bagi perkembangan demokrasi politik kita. Juga, menjadi gambaran masa depan suram bagi upaya membangun rasionalitas politik dalam membangun demokrasi di negeri ini. 

Barangkali, kecenderungan lahirnya fandom politik lebih mengkhawatirkan daripada dampak dari politik aliran yang pernah berkembang dalam sejarah politik kita.

Rasanya diperlukan langkah serius untuk membangun pilar politik baru yang bertumpu pada rasionalitas dan gagasan. Bukan semata-mata memperkuat kelompok-kelompok penggemar dari tokoh politik. Tentu hal ini agak sulit diharapkan muncul dari para elite politik yang dibesarkan media sosial. Rasanya diperlukan lagi kekuatan masyarakat, civil society, yang memberikan cahaya terang bagi perpolitikan negeri ini.

Secara teori, partai politik semestinya menjadi pilar utama demokrasi yang sehat. Dengan melahirkan para pemimpin politik yang tangguh. Yang piawai dalam menyaring, menyerap, dan merumuskan kepentingan publik. Juga, menjadikan kepentingan publik tersebut sebagai keputusan yang berpihak kepada publik.

Jika partai politik, civil society, dan lembaga-lembaga politik berjalan sesuai alurnya, semestinya tak akan muncul artis-artis politik. Mereka yang melejit karena sekadar proses personal branding. Proses yang cenderung menghasilkan figur yang tidak didukung masyarakat politik. Tapi, sosok yang melejit akibat para pengikut yang cinta buta karena telanjur menjadi fan.

Negeri ini perlu para tokoh masa depan yang muncul bukan karena kasih sayang dari siapa saja. Tapi, mereka yang tahu harus dibawa ke mana 280 juta jiwa penghuni bumi Indonesia. Yang seperti ini pasti bisa lahir dari proses demokrasi yang substantif, bukan demokrasi prosedural. Apalagi, demokrasi fandom. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: