Megawati dan Orde Baru

Megawati dan Orde Baru

Ilustrasi Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

MEGAWATI Soekarnoputri jarang berpidato dengan berapi-api. Tapi, kali ini beda. Di depan kader-kader PDIP yang mengikuti rapat pemenangan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Jakarta, Senin, 27 November 2023, Mega berpidato penuh semangat sampai setengah berteriak hingga suaranya serak.

Mega terlihat emosional sekali. Suaranya tinggi dan tangannya menuding-nuding. Mega marah terhadap pihak yang disebutnya bertindak seperti rezim Orde Baru. Mega tidak menyebut nama, tetapi memakai kata ganti ”kalian” untuk merujuk pada orang-orang atau satu orang tertentu.

BACA JUGA: Megawati Sebut Baru Berkuasa Mau Seperti Orba, Begini Tanggapan Gibran

Banyak yang menduga yang disasar oleh Mega ialah Jokowi. Namun, seperti biasanya, Jokowi santai sambil tersenyum-senyum. Ketika wartawan meminta komentar, Jokowi hanya tersenyum sambil mengatakan bahwa pemilu harus diselenggarakan dalam suasana damai nan penuh senyum.

Jokowi bisa senyum, tapi Mega pasti sulit tersenyum dalam menghadapi Pilpres 2024 mendatang. Meski tidak diungkapkan secara eksplisit, terlihat bahwa Mega gusar menyaksikan perkembangan politik saat ini. 

Dia gusar karena Jokowi terang-terangan meninggalkan dirinya dan berpaling kepada Prabowo. Mega lebih gusar lagi karena Jokowi memasangkan Prabowo dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.

BACA JUGA: Ambil Nomor Urut: Prabowo Berpantun untuk Cak Imin, Sapa Megawati Sebagai Presiden RI

Kali ini Mega berpidato tanpa teks, lancar dan lugas. ”Kalian baru berkuasa, tapi sudah bertindak seperti Orde Baru.” Begitu kata Mega. Ia mengungkapkan adanya intimidasi, ancaman, dan tekanan terhadap para pendukung Ganjar-Mahfud. Mega menyebut itu sebagai tindakan otoriter ala Orde Baru.

Mega terlihat sangat otoritatif ketika berbicara mengenai Orde Baru. Mega sangat familier dengan sepak terjang rezim Orde Baru. Sebab, ia bagian dari sekian banyak korban. Pada masa-masa akhir kekuasaan Soeharto, Mega menjadi bagian dari simbol perlawanan terhadap rezim.

Menjelang paruh akhir 1990-an Soeharto sudah makin uzur dan mulai kehilangan sentuhan terhadap realitas politik. Ia dikelilingi penjilat-penjilat yang mencari keuntungan politik dan ekonomi dengan memanfaatkan jaringan rente. Orang-orang di sekitar Soeharto membiarkannya terperosok ke dalam jurang yang dalam.

BACA JUGA: Megawati Singgung Manipulasi Hukum di MK, TKN Prabowo-Gibran: Pertandingan Belum Dimulai

Megawati menjadi ikon perlawanan karena berani menghadapi rezim. Salah satu peristiwa penting yang dianggap sebagai tonggak adalah peristiwa 27 Juli 1996 yang dikenal sebagai ”Kudatuli”, akronim dari kerusuhan 27 Juli. Ketika itu sekelompok pendukung Mega yang ingin mempertahankan kantor PDI diserbu banyak orang sehingga terjadi bentrokan yang berakhir dengan korban jiwa.

Megawati dianggap sebagai pengganggu stabilitas kekuasan Soeharto. Serangkaian skenario politik dijalankan untuk menjegal Megawati dan PDI. Partai itu sebenarnya didesain oleh Orde Baru sebagai partai boneka. Namun, Megawati berhasil melakukan konsolidasi sehingga menang dalam Kongres PDI 1993 di Surabaya. 

Semula orang yang diplot sebagai ketua umum PDI oleh rezim Soeharto ialah Budi Hardjono. Tetapi, di luar dugaan, Megawati meraup 256 suara dari 305 suara cabang yang diperebutkan di forum kongres partai. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: