Pentas Kentrung dan Musik Kontemporer di Dekesda Disajikan Minimalis dengan Dialog Jenaka
Mahamuni Paksi (kiri) dan Nasar Albatati bergurau saat membawakan adegan Sego Bebek. Mereka berdialog sambil memainkan musik. -Dekesda -
HARIAN DISWAY - Beberapa alat musik ritmis berjajar di panggung Dardanella di Gedung Dekesda Sidoarjo, 30 Desember 2023 lalu. Dalam pementasan seni tradisi dan kontemporer. Tampak Nasar Albatati mengenakan sarung dan udeng khasnya.
Dengan title grup Nasar Lan Kancane, Nasar tampil berdua dengan musisi Mahamuni Paksi. Keduanya menyuguhkan empat repertoar yang akan ia pentaskan. Pertama, Suluk Sunan Drajat. Berkisah tentang petuah Sunan Drajat yang begitu memperhatikan masyarakat kecil, dan sesama yang membutuhkan.
Untuk sampai mementaskan yang pertama itu, Nasar melakukan ritual khusus. Sebelum meramu materi pementasan, Ia berziarah ke makam Sunan Drajat di Lamongan. “Bukan untuk apa-apa itu semacam riset menggali filosofi tentang beliau,” tegasnya.
Kedua, repertoar Eman-Eman. Karya yang tercipta setelah pertemuan Nasar dengan almarhumah Gimah, dalang kentrung perempuan dari Tulungagung. "Saya sowan ke rumah Bu Gimah. Saat itu saya diberi hadiah yang berharga. Yakni suluk kentrung khas Tulungagung," kenangnya.
Seperti halnya seni kentrung, suluk tersebut berisi nasihat-nasihat Islami. Tentang seseorang yang wajib menjaga teguh janji yang telah diucapkan. "Di setiap kentrung, pasti ada kalimat laa illahailallah muhammad rasulullah. Begitu juga suluk kentrung Tulungagung," ungkapnya.
Pementasan Nasar dan Paksi mengadaptasi kentrung. Keduanya mengubahnya menjadi format musik kontemporer. Minimalis dengan dialog-dialog yang jenaka.
Kelompok musik kentrung asal Sidoarjo yang dipimpin oleh Ki Subiantoro. Membawakan lakon Citra Babad Janggan Smarasanta. -Dekesda-
Repertoar ketiga, Sego Bebek. Bagi Nasar, karya itu hanya sekadar untuk senang-senang. "Dua orang yang bercerita tentang enaknya nasi bebek sembari terus bermain musik," ujar pria 67 tahun itu.
Sedangkan keempat, berjudul Udan Kembang. Tentang seseorang yang jatuh cinta, dan penuh perjuangan untuk meraih hati kekasihnya. Seni kentrung yang lekat dengan tradisi religi Islam, juga diwarnai dengan senggakan, atau spontanitas dialog.
"Selalu ada peristiwa antara saya dan Paksi. Komposisi musik yang ada selalu diawali dengan kejadian-kejadian kecil. Kadang terlihat sepele, tapi itulah keseharian kita yang sering luput dari perhatian," ujar pria asli Sepanjang, Sidoarjo itu.
Dalam adegan pertama, Nasar telah siap di panggung. Paksi datang, dan mengabarkan pada Nasar bahwa ia selesai belajar mengaji. Dialog yang disajikan dalam bahasa Jawa. "Aku mari ngaji. Adoh, tekan Paciran kono ngajiku (Aku habis mengaji. Jauh, tempat mengajiku ada di Paciran, Red)," kata Paksi.
Dialog keduanya berlanjut, hingga sampai pada pembahasan tentang Sunan Drajat. Kawasan dakwah Sunan tersebut memang berada di daerah Lamongan, di pesisir Pantai Utara. Sembari bermain musik, pada akhir pementasan, Nasar menyanyikan petuah Sunan Drajat.
Dikenal dikenal dengan sebutan Catur Piwulang: Wenehono teken marang wong kang wuto. Wenehono pangan karo wong kang kaliren. Wenehono payung marang wong kang kawudanan. Wenehono sandang karo wong kang wudo.
Jika diterjemahkan: Berilah tongkat pada orang yang buta. Berilah makan pada orang yang lapar. Berilah payung pada orang yang kehujanan, dan berilah pakaian pada orang yang telanjang.
Lampu panggung dimatikan. Adegan kedua, Paksi menyunggi rebab di kepalanya, seperti seorang pedagang. "Janji, janji. Monggo, janji, janji," katanya. Bukan barang yang ditawarkan, tapi janji. Dari situ dialog muncul, tentang pentingnya menepati janji. Seperti makna suluk kentrung Tulungagung yang diberikan Gimah pada Nasar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: