Pentas Kentrung dan Musik Kontemporer di Dekesda Disajikan Minimalis dengan Dialog Jenaka

Pentas Kentrung dan Musik Kontemporer di Dekesda Disajikan Minimalis dengan Dialog Jenaka

Mahamuni Paksi (kiri) dan Nasar Albatati bergurau saat membawakan adegan Sego Bebek. Mereka berdialog sambil memainkan musik. -Dekesda -

Adegan ketiga, keduanya saling bercerita tentang nasi bebek di Sidoarjo. Mereka saling berbagi memori kenikmatan, sembari terus bermain musik. Lantas pada akhir pembicaraan, keduanya bermain musik tanpa dialog.

Pada adegan keempat, lirik tembang dibawakan dalam Bahasa Indonesia. Tentang romantisme sepasang kekasih. Nasar bercerita tentang perjuangan keduanya dalam menggapai cinta. Secara keseluruhan, meski tampaknya tak berkaitan, empat adegan itu memiliki korelasi.

Tema besarnya adalah petuah Sunan Drajat. Menjalankan agama sembari terus berbagi demi kemanusiaan itu tak mudah. Janji untuk setia pada dua hal itu harus dipegang teguh. Jika telah dapat menjalankan keduanya, kenikmatannya akan terasa di batin. 

Tak ada wujud, tak ada objek yang menimbulkan kebahagiaan, selain perasaan puas. Selanjutnya, puncak romantisme tertinggi adalah kedekatan seseorang dengan Tuhan. Ketika begitu dekat, maka tak ada lagi sesuatu yang mengganggu. Tak ada lagi keinginan-keinginan di luar itu.

Masih tetap mengolah kentrung, pentas selanjutnya disutradarai sekaligus dimainkan oleh Ki Subiyantoro (Ki Toro). Lakon yang dibawakan bertitel Citra Babad Janggan Smarasanta. Berkisah tentang mitos kedatangan Syech Subakir ke tanah Jawa, untuk menyebarkan agama Islam.


1. Kelompok musik kentrung asal Sidoarjo yang dipimpin oleh Ki Subiantoro. Membawakan lakon Citra Babad Janggan Smarasanta.--

Ki Toro menyebut bahwa kentrung merupakan pertunjukan sastra tutur yang berbasis agama Islam. "Lakon Syech Subakir ini merupakan sosok pendakwah Islam, yang tidak menolak budaya Jawa. Bahkan mampu berbaur," ungkapnya.

Ia manggung bersama dua rekannya, Pringgo Jati Rachmanu dan Ki Surono. Dalam setiap tembang yang dibawakan selalu terdapat kalimat La ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah. 

Ada pula adegan ketika Syech Subakir bertemu dengan pembesar-pembesar di tanah Jawa, menyampaikan pesannya untuk mendakwahkan Islam.

Onok dandang lak soko etan/Tak tolak balik mangetan/Ora nolak mbok Sri Sedana/Sing tak tolak penggawe kang ala/La ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah.

Syair itu mengalun syahdu. Berkisah tentang seseorang yang mengayomi liyan, mengayomi kebudayaan setempat, yang sesuai dengan ajaran Islam. Tapi yang ditolak adalah perbuatan yang jahat. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas Nugraha)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: