UU HKPD yang Merepotkan

UU HKPD yang Merepotkan

Ilustrasi UU HKPD yang merepotkan pemda.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Pada perda baru ini, juga dilakukan perubahan penggolongan tarif PBB. Jika sebelumnya hanya dua golongan, yaitu NJOP di bawah Rp 1 miliar dengan tarif PBB 0,105 persen dan di atas Rp 1 miliar 0,225 persen, kini NJOP digolongkan menjadi enam (BUKU). Tarif paling rendah 0,100 untuk BUKU 1 (NJOP di bawah Rp 500 juta) dan paling tinggi untuk NJOP di atas Rp 10 miliar 0,300 persen. 

Perubahan golongan dan tarif itu berdampak besar. Banyak yang PBB-nya turun drastis, dan sebaliknya, naik drastis. Yang turun drastis adalah yang ada di BUKU 3 (NJOP Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar). Sebelumnya mereka terkena tarif 0,225 persen, tetapi sekarang hanya 0,150 persen atau turun 0,75 persen basis poin (sekitar 33 persen). 

Sementara itu, yang di BUKU 2 (NJOP Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar) justru naik drastis. Sebelumnya mereka terkena tarif 0,105 persen, tetapi kini menjadi 0,150 persen atau naik sekitar 43 persen. Yang biasanya bayar PBB Rp 600 ribu, misalnya, kini tiba-tiba naik jadi Rp 856 ribu. 

Beruntung, hal tersebut bisa diatasi dengan mengubah nilai jual kena pajak (NJKP) sebagai dasar pengenaan PBB. Dalam UU HKPD maupun perda Sidoarjo, NJKP dibuat longgar, antara 20 hingga 100 persen. NJKP yang digunakan di setiap golongan NJOP akan ditetapkan dengan peraturan bupati. 

Satu lagi tarif pajak daerah yang disebut-sebut Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa berpotensi menghilangkan pendapatan Rp 4 triliun, yaitu tarif pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Memang ada potensi turun, tapi tak sebesar yang disebut-sebut gubernur. 

Pada UU HKPD, PKB dan BBNKB nanti tidak lagi menjadi bagi hasil pajak bagi pemkab/pemkot. Sebab, ada pajak untuk pemkab/pemkot yang disebut opsen PKB dan BBNKB. Untuk PKB, jika selama ini tarif PKB diatur 2 persen, nanti diturunkan menjadi 1,2 persen. Tapi, itu langsung menjadi pendapatan pemprov yang tidak perlu dibagihasilkan kepada pemkab. 

Kompensasinya, pemkab bisa langsung mengutip opsen PKB dan BBNKB yang besarnya 66 persen dari tarif PKB dan BBNKB. Untuk PKB, misalnya, pemkab bisa mengutip opsen sebesar 66 persen dari PKB yang dikutip pemprov sebesar 1,2 persen atau sebesar 0,792 persen. Berarti, tarif PKB yang dibayar konsumen menjadi 1,992 persen. Masih lebih rendah daripada 2 persen seperti selama ini. 

Dengan opsen yang akan diterapkan tahun 2024 ini, pendapatan PKB dan BBNKB pemkab/pemkot akan naik 32 persen dibanding bagi hasil PKB-BBNKB seperti selama ini. Bagi pemprov, memang akan turun, tapi hanya 0,2 persen (setara dengan 14,28 persen), yaitu dari 1,4 persen (70 persen dari 2 persen) menjadi 1,2 persen.  

Yang jelas, UU HKPD membuat pemkab dan pemprov harus menata ulang ketentuan pajak daerah dan retribusi daerah dalam perda. Dan, tentu saja, mengantisipasi penurunan pendapatan dari perubahan tarif. (*)

*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, wakil dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: