Muhaimin: Petani Gurem Jutaan tapi Ada yang Diberi Negara 500 Ribu Ha Lahan

Muhaimin: Petani Gurem Jutaan tapi Ada yang Diberi Negara 500 Ribu Ha Lahan

Dalam debat tersebut, calon wakil presiden nomor urut satu dari Koalisi Perubahan Muhaimin Iskandar membuka debat dengan mengutip statement dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari. -AMIN-

JAKARTA, HARIAN DISWAY - Debat keempat capres dan cawapres yang membahas antara lain soal pembangunan berkelanjutan lingkungan hidup, sumber daya alam, pangan, dan masyarakat adat berlangsung di JCC Jakarta, Minggu 21 Januari 2024. 

Dalam debat tersebut, calon wakil presiden nomor urut satu dari Koalisi Perubahan Muhaimin Iskandar membuka debat dengan mengutip statement dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari. 

BACA JUGA: Respons Tarif Sewa TIM Naik, Anies Singgung Kewajiban Negara Fasilitasi Kegiatan Kebudayaan

“Hadratus syekh KH Hasyim Asyari pendiri NU mengatakan petani adalah penolong negeri, tetapi hari ini kita menyaksikan negara dan pemerintah abai terhadap nasib petani dan nelayan kita," katanya.

"Hari ini kita menyaksikan bukti bahwa hasil sensus pertanian BPS menunjukkan bahwa 10 tahun terakhir ini telah terjadi jumlah petani rumah tangga gurem berjumlah hampir tiga juta,” ujar cucu pendiri NU, KH. Bisri Syansuri itu.

Ini artinya, kata Gus Muhaimin, ada 16 juta rumah tangga petani hanya memiliki tanah 0,5 hektar. “Sementara ada seseorang yang memiliki tanah 500 ribu hektare sebagai kekuasaan yang diberikan negara kepadanya," katanya.

"Di sisi lain kita sangat prihatin, upaya pengadaan pangan nasional dilakukan melalui food estate. Food estate terbukti mengabaikan petani kita, meninggalkan masyarakat adat kita, menghasilkan konflik agraria, dan bahkan merusak lingkungan kita. Ini harus dihentikan,” tegasnya. 

Gus Muhaimin pun menyoroti krisis iklim. “Kita menyaksikan bencana ekonomi terjadi di mana-mana. Negara harus serius mengatasinya. Tidak hanya mengandalkan proyek Giant Sea Wall yang tidak mengatasi masalah itu,” ucap dia. 

Penanganan krisis iklim, kata Gus Muhaimin, dimulai dengan etika lingkungan. “Kita tidak seimbang di dalam melaksanakan pembangunan kita. Kita melihat krisis iklim tidak diatasi dengan serius. Bahkan, anggaran krisis iklim jauh di bawah anggaran sektor-sektor yang lain,” paparnya. 

Pembangunan nasional dan kebijakan nasional, jelas Gus Muhaimin, harus berpijak pada namanya keadilan: keadilan iklim, keadilan ekologi, keadilan antargenerasi, keadilan agraria, dan tentu keadilan sosial. 

BACA JUGA: Anies Kagumi Karya Raja Dangdut Rhoma Irama yang Syarat Pesan Perjuangan

“Rakyat harus dilibatkan, rakyat tidak boleh ditinggal, karena pemilik negeri ini adalah rakyat. Pemerintah hanyalah pelaksana dari pemilik negeri ini. Perlu etika lingkungan keseimbangan manusia dengan alam. Tidak menang-menangan,” tegasnya. 

Gus Muhaimin menilai desa harus menjadi titik tumpu pembangunan. “Petani, nelayan, peternak, masyarakat adat harus menjadi bagian utama dari program pengadaan pangan nasional. Reforma agraria harus menjadi kepastian distribusi lahan bagi para petani kita. Energi baru dan terbarukan harus digenjot, bukan malah diturunkan targetnya,” jelas dia. 

Karena itu, kata Gus Muhaimin, Indonesia harus melakukan perubahan, perubahan untuk masa depan kita dan generasi yang akan datang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: