Kota, Pilar Diplomasi Masa Depan
ILUSTRASI kota menajasi pilar diplomasi masa depan.--
Pun, sebelum kita mengenal sistem negara-bangsa pada saat ini, kota-kotalah yang menjadi pusat peradaban manusia dan menjadikan dunia ini terhubung melalui jejaring-jejaring perdagangan.
Tak berlebihan jika Benjamin Barber berpendapat bahwa kotalah inkubator asli demokrasi. Mengingat, sejarah polis (kota kuno) sebagai pusat aktivitas publik seperti diskusi, pertemuan, dan demonstrasi yang memberikan ruang partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Bahkan, istilah ”politik” yang kita kenal saat ini sejatinya merupakan perkembangan dari kata polis itu sendiri.
Dalam bukunya yang berjudul Connectography, Parag Khanna memprediksi bahwa politik internasional di masa depan banyak diwarnai kota-kota global (global cities) yang saling berebut pengaruh sebagai poros inovasi dan perekonomian.
Makin majunya teknologi informasi akan mempercepat proses itu. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa diplomasi masa depan amat bergantung pada peran kota sebagai penyangga negara.
Kini sudah lazim bagi negara-negara untuk mendelegasikan kekuasaannya kepada kota. Umumnya, kota diberi wewenang untuk melaksanakan aktivitas kerja sama luar negeri di bidang-bidang yang terkait pelayanan publik. Misalnya, pendidikan maupun kesehatan.
Tujuan utama diplomasi kota adalah bertukar best practice dari kota yang lebih sukses. Namun, tak jarang pula kerja sama itu juga dikembangkan menjadi hal-hal yang lebih luas seperti pertukaran budaya dan pariwisata.
Di Indonesia, diplomasi oleh pemerintah daerah, termasuk kota, diakui sebagai aktivitas legal, yakni kerja sama daerah dengan pemerintah daerah di luar negeri (KSDPL). Adapun, KSDPL diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah.
Tujuan adanya kerja sama itu adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik berdasar prinsip saling menguntungkan. Adanya peraturan itu membuka peluang bagi kota-kota di Indonesia untuk dapat berdiplomasi guna memaksimalkan pelayanan publik.
Bentuk paling populer aktivitas diplomasi kota adalah sister city alias kota kembar. Surabaya adalah contoh kota yang cukup aktif melakukan hal itu. Hingga Maret 2024, Surabaya tercatat telah memiliki 10 kota kembar dengan berbagai kota di dunia.
Salah satunya adalah Kitakyushu, Jepang, yang telah berkontribusi membantu Surabaya di bidang pengolahan sampah. Hasil kerja sama itu adalah lahirnya Depo Sutorejo yang tiap hari dapat mengolah hingga 15 ton sampah. Di samping itu, ada kota-kota lain seperti Busan dan Kochi yang telah beberapa kali terlibat dalam aktivitas pertukaran guru dan siswa dengan Surabaya.
Agar tercapai diplomasi kota yang sukses, tentu saja kota-kota perlu memetakan sejumlah hal. Misalnya, potensi dan kebutuhan kota. Hal tersebut dilakukan untuk membantu kota menentukan arah jelas tentang apa saja yang perlu dikerjasamakan.
Tahapan tersebut bisa dilakukan dengan mengadakan focus group discussion (FGD) ataupun penelitian mengenai potensi-potensi kota dan rencana pembangunannya. Selain itu, penting bagi kota untuk memilih mitra dan tema kerja sama yang tepat.
Itu agar kerja sama yang tercapai dapat efektif dan tak hanya berhenti menjadi sebuah hal bersifat seremonial.
Lebih dari itu, pelaksanaan output diplomasi kota penting untuk melibatkan komunitas masyarakat. Tujuannya, pelayanan publik yang diupayakan dapat menjangkau masyarakat secara lebih maksimal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: