FGD Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Bali (1): Menyikapi Ancaman Ekonomi Global
ILUSTRASI Suasana FGD Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Bali. -Bagong Suyanto untuk HARIAN DISWAY-
Pertama, pertumbuhan ekonomi Tiongkok di tahun 2023 sebesar 5,2 persen, sementara di tahun 2024 diprediksi turun menjadi 4,7 persen. Sebagai mitra dagang utama Indonesia, perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok bukan tidak mungkin akan berdampak terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Peluang Indonesia untuk ekspor cepat atau lambat akan menurun. Dengan begitu, raihan devisa yang ditargetkan ikut turun pula.
Kedua, berkaitan dengan kondisi ekonomi dan kebijakan bank sentral AS. Pada 2023 pertumbuhan ekonomi AS dilaporkan hanya 2,5 persen dan pada 2024 diperkirakan tidak berubah. Keputusan bank sentral AS yang menaikkan suku bunga acuan secara langsung maupun tidak menyebabkan nilai dolar AS menguat.
Implikasinya, nilai tukar mata uang sejumlah negara –tak terkecuali Indonesia– menjadi melemah. Nilai tukar rupiah dilaporkan sempat menembus angka psikologis Rp 16.000 per 1 dolar AS. Kondisi pelemahan rupiah tersebut tentu harus segera disikapi agar tidak berlarut-larut.
Menurut Indra, kata kunci yang penting disimak adalah spekulasi hight for longer yang lebih tinggi daripada FFR. Apa yang terjadi di tingkat global bagaimanapun akan memperburuk ketidakpatian pasar global dan meningkatkan risiko serta ketidakpastian kondisi perekonomian Indonesia. Bagi Indonesia, ketika kondisi pasar global melemah, tentu implikasinya akan memengaruhi peluang kita mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Dibandingkan dengan faktor internal, faktor eksternal harus diakui menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Ketidakpastian kondisi ekonomi global harus diantisipasi sedini mungkin.
Menguatnya nilai tukar dolar AS tentu tidak hanya mengakibatkan kinerja dunia usaha melemah karena sebagian besar bahan baku produk Indonesia masih bergantung pada impor yang harus dibayar dengan dolar. Tetapi, juga mengakibatkan tanggungan utang luar negeri meningkat.
Di samping itu, ketidakpastian ekonomi global, perubahan kebijakan perdagangan, dan gejolak ekonomi yang terjadi di sejumlah negara niscaya akan mengakibatkan permintaan terhadap ekspor Indonesia turun –yang ujung-ujungnya akan berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam kondisi ekonomi global yang serba-tidak pasti tersebut, lantas apa yang harus dilakukan Bank Indonesia dan pemerintah Indonesia?
MENYIKAPI
Menyikapi ketidakpastian kondisi ekonomi global, tentu ada banyak hal yang harus dikembangkan. Tujuan utama kebijakan moneter yang dilaksanakan Bank Indonesia tentu adalah memastikan stabilitas nilai rupiah, berusaha memelihara stabilitas sistem pembayaran, serta turut menjaga stabilitas sistem keuangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Secara teoretis, kita ketahui stabilitas nilai rupiah mencakup kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar rupiah. Kestabilan harga barang dan jasa secara umum diukur dari inflasi yang rendah dan stabil.
Sementara itu, kestabilan nilai tukar rupiah diukur dari kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Dalam kenyataan, kita tahu bahwa kondisi ekonomi nasional sedang tidak baik-baik saja. Walaupun inflasi relatif terkendali dalam kisaran sasaran 2,5 plus-minus 1 persen, nilai tukar rupiah harus diakui sedang bermasalah.
Meningkatnya ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah niscaya berisiko mengakibatkan meningkatnya pelemahan rupiah. Juga, mengakibatkan perkembangan industri manufaktur di tanah air terhambat.
Kelangsungan industri manufaktur sangat mungkin akan terhambat karena daya beli masyarakat turun dan karena harga bahan baku yang dibutuhkan industri naik imbas menguatkan nilai tukar dolar AS. Intinya, ketika kondisi ekonomi global bermasalah dan penuh dengan ketidakpastian, peluang Indonesia untuk meningkatkan performa ekonomi menjadi lebih sulit.
Keputusan Bank Indonesia pada 23-24 April 2024 untuk menaikkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen, suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 7,00 persen diharapkan dapat meredam dampak buruk dinamika ekonomi global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: