Advokasi Pekerja Migran Melalui Pengabdian Masyarakat Internasional

Advokasi Pekerja Migran Melalui Pengabdian Masyarakat Internasional

ILUSTRASI advokasi pekerja migran Indonesia di Malaysia melalui pengabdian terhadap masyarakat internasional.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Minat Pekerja Migran Indonesia di Singapura untuk Upgrading Pendidikan Makin Meningkat

GELAR PENGABDIAN MASYARAKAT INTERNASIONAL

Upaya memberikan perlindungan hak, peningkatan kesejahteraan, dan literasi digital bagi PMI itu coba dilakukan Universitas Airlangga yang kini fokus pada kebermanfaatan bagi masyarakat. Salah satunya adalah melalui pengabdian masyarakat. Karena para pekerja migran berada di luar negeri, Unair menggelar pengabdian masyarakat internasional, bekerja sama dengan Universiti Teknologi Malaysia (UTM) di Johor Malaysia. 

Kolaborasi dengan UTM untuk menggelar community development itu sudah berlangsung dua tahun. Dalam pengabdian masyarakat tersebut, para dosen Unair dan UTM berusaha menggali kebutuhan masyarakat untuk dicarikan solusi bersama. Salah satunya adalah advokasi pekerja migran Indonesia itu di sekitar Johor, Malaysia, yang digelar Mei lalu. Tahun lalu program yang diangkat adalah obat herbal. 

Di Unair, program pengabdian masyarakat itu merupakan rangkaian kegiatan World University Association for Community Development (WUACD). Lembaga tersebut didirikan pada 2018 oleh Unair bersama 16 universitas dari berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, Taiwan, Turkiye, Mesir, Bangladesh, dan Kamboja. 

Kini anggota WUACD ada 41 universitas. Di antaranya adalah kampus-kampus papan atas seperti The University of Western Australia, Notre Dum University, dan Griffith University. Dari Asia Tenggara, ada Prince of Songkla Thailand dan kampus-kampus terbaik di Malaysia seperti Universiti Malaya dan Universiti Teknologi Malaysia. 

Pada pengabdian masyarakat itu, selain peningkatan literasi digital dan sosialisasi tentang hak-hak PMI, Unair fokus pada masalah PMI ilegal dan anak-anaknya. Sebab, selain jumlahnya yang sangat besar, PMI dan anak-anak tak berdokumen itu akan menjadi persoalan serius di masa depan. 

Konjen RI di Johor memperkirakan jumlah mereka mencapai ratusan ribu. Meski, tidak ada data yang pasti tentang jumlah PMI ilegal tersebut. Paling tidak, itu bisa dideteksi dari jumlah orang Indonesia yang masuk dan tidak keluar sebagaimana mestinya. 

Tahun 2022, misalnya, ada 628 ribu warga negara Indonesia (WNI) yang  masuk melalui Johor dan sekitarnya. Yang keluar hingga batas izin tinggal hanya 414 ribu. Artinya, sekitar  214 ribu WNI berpotensi menjadi PMI ilegal (Disway, Mei 2024). Itu salah satunya karena di wilayah kerja Konjen Johor yang cukup terbuka. Banyak pelabuhan kecil yang menjadi tempat tujuan PMI ilegal dari Indonesia. 

PMI dengan status pekerja gelap itu menyulitkan posisi PMI itu sendiri. Sebab, hampir tidak ada perlindungan hukum. Selain permasalahan tersebut, masih ada permasalahan lainnya. Misalnya, gaji yang tidak dibayar, perlakuan buruk, dan pengeksploitasian. Itu permasalahan PMI-nya sendiri. 

Ada permasalahan PMI yang tidak kalah peliknya. Yaitu, keluarga PMI, anak-anak dari PMI yang ilegal itu. Anak-anak tersebut tidak dapat bersekolah di sekolah resmi Malaysia karena mereka tidak berdokumen. Itu akibat dari status orang tua mereka. Jumlah anak-anak tersebut ribuan, tersebar di beberapa daerah. 

Sementara ini ada yang menampung, sekolah ”tidak resmi” yang diadakan orang Indonesia karena alasan kemanusiaan dan hak pendidikan anak, yaitu semacam sanggar belajar. Permasalahan anak-anak PMI itu mendesak dicarikan solusi. Apalagi, jika usia mereka memasuki 18 tahun, mereka bisa ditangkap dan dihukum sebelum dideportasi. 

Solusi yang bisa ditawarkan adalah memberikan beasiswa agar anak-anak PMI ilegal itu bisa sekolah di Indonesia. Pemerintah harus turun tangan menyelamatkan mereka agar kelak tidak menjadi masalah di luar negeri. Selain itu, solusi preventif adalah melakukan sosialisasi dan penyuluhan langsung ke kantong-kantong TKI di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). 

Selain itu, sosialisasi bisa dilakukan melalui sosial media. Selama ini, banyak penawaran menjadi PMI ilegal melalui medsos seperti Instagram dan Facebook. Itu harus ditandingi dengan sosialisasi bahaya menjadi PMI ilegal melalui berbagai platform media sosial. 

Upaya melindungi PMI di luar negeri dan memastikan kesejahteraan mereka dan keluarganya di masa depan ini tidak mudah. Perlu upaya yang konsisten dan dukungan pemerintah dan para stakeholder agar hal itu bisa dicapai. Sebab, selain mereka adalah warga negara yang harus dilindungi, mereka juga memiliki kontribusi terhadap perekonomian Indonesia yang sangat besar. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: