Gaya Komunikasi Politik PBNU: Isuk Dele Sore Tempe ala Gus Yahya?

Gaya Komunikasi Politik PBNU: Isuk Dele Sore Tempe ala Gus Yahya?

ILUSTRASI Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Kunjungan Kontroversial ke Israel: PBNU Angkat Bicara dan Minta Maaf

Padahal, Gus Yahya justru menghadiri acara serupa yang diselenggarakan beberapa partai lain, yang juga menggunakan simbol-simbol harlah NU. Gus Yahya bahkan melontarkan pernyataan bahwa NU dan partai tersebut bukan sekadar partner, melainkan juga komponen senyawa. 

Ketika orang NU sendiri dilarang menggunakan identitas NU sebagai modal politik, Gus Yahya justru mempersilakan orang lain menggunakannya. Ketika Gus Yahya menyatakan bahwa NU akan menjaga jarak dengan politik praktis, ia justru mensenyawakan NU dengan partai politik tertentu. Sikap kontradiktif itu dalam peribahasa Jawa disebut ”isuk dele, sore tempe” alias mencla-mencle.

Dalam paradigma retorika baru, manuver Gus Yahya membuktikan bahwa legitimasi semu (pseudo-legitimation) memang benar adanya. Chaim Perelman dalam bukunya, The new rhetoric and the humanities: Essays on rhetoric and its applications, mengatakan bahwa kenyataan selalu berhadapan dengan legitimasi semu yang diaktifkan secara institusional oleh para pemimpin organisasi. 

BACA JUGA: Foto Kontroversial Kader NU Bersama Presiden Israel, Jokowi Minta Ditanyakan ke PBNU!

BACA JUGA: PBNU Pertimbangkan Berhentikan Kader yang Temui Presiden Israel

Kondisi itu terjadi ketika tindakan organisasi diambil dari pilihan-pilihan irasional. Pilihan-pilihan tindakan yang didasarkan pada kepentingan, hasrat, dan prasangka. Menurutnya, fenomena itu lebih memungkinkan muncul ketika organisasi berada pada kondisi ketidakteraturan dan terbuka untuk penggunaan legitimasi yang kontroversial.

Persis seperti kisi-kisi yang ditulis Chaim Perelman, legitimasi semu Gus Yahya diaktivasi secara institusional dengan menggiring narasi bahwa pembahasan relasi PKB dan NU muncul dari permintaan dan komplain dari para peserta rapat pleno. Rapat pleno seakan menjadi stempel resmi dari pernyataan-pernyataannya yang telah rutin dilontarkan sejak lama. 

Para syuriyah, tanfidziyah, a’wan, ketua lembaga, dan badan otonom yang hadir dijadikan sebagai tameng legitimasi institusional atas kepentingan, hasrat, dan prasangka pribadi. 

Kepentingan, hasrat, dan prasangka pribadi Gus Yahya makin kentara ketika ia mencampuradukkan masalah Pansus Hak Angket Penyelenggaraan Ibadah Haji dengan memanasnya hubungan PBNU dan PKB. 

Ia bahkan menuduh bahwa terbentuknya pansus tersebut karena Yaqut Cholil Qoumas sebagai menteri agama juga merupakan adik kandungnya. Kenyataannya, Pansus Haji disepakati DPR RI dan bahkan bukan diusulkan anggota Fraksi PKB.

Kenapa legitimasi semu itu memungkinkan untuk muncul? Bisa jadi karena nilai-nilai luhur yang kita genggam selama ini, yakni rasa hormat, takzim, dan kepatuhan mutlak kepada kiai telah membuka jalan penggunaan legitimasi yang penuh kontroversi.

Meski begitu, sebagai warga nahdliyin, kita tetap harus berpegang pada prinsip memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik. Memelihara sikap hormat, takzim, dan kepatuhan kepada kiai. Selebihnya, biarlah publik yang menilai. 

Akan tetapi, tidak perlu juga takut beropini dan mengkritisi, karena bagi nahdliyin jaringan kultur seperti kita, tak akan ada surat peringatan atau ancaman pembekuan mendekat. Hal mana terjadi pada warga di garis struktur di level wilayah ke cabang, yang mana hari ini menahan gemas karena antara hati dan pikirannya, keduanya tengah dibonsai. 

Benarkah? CMIIW, correct me if i wrong. Salim wolak-walik untuk pimpinan-pimpinan kita di NU yang masih ikhlas berkhidmat. Wallahu a’lam bisshowab. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: