Tangis Ghani, Dirut PTPN III Holding (Persero)

Tangis Ghani, Dirut PTPN III Holding (Persero)

ILUSTRASI tangis Muhamad Abdul Ghani, Dirut PTPN III Holding (Persero). -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Saat menyampaikan itu, ia sempat berhenti lama. Menitikkan air mata. Karena terharu. Sangat emosional. Bahkan, sampai harus menghapus air mata yang keluar dengan tisu yang buru-buru diberikan panitia ke atas panggung. ”Terima kasih. Ini merupakan hasil kerja kita bersama,” katanya tersendat.

Sudah lama pemerintah berusaha untuk memulihkan industri gula nasional. Agenda swasembada gula berkali-kali diperbarui. Tahun 1972, misalnya, Menteri Pertanian Tojib Hadiwijaja memulai target itu. Lantas, empat tahun kemudian menjadi program Menteri Sudarsono. Tahun 1990-an cita-cita sama digulirkan. 

Sejumlah agenda swasembada gula tersebut gagal karena pemerintah keliru dalam mengambil kebijakan. Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang diluncurkan pada 1975 malah dianggap sebagai sumber masalah kemerosotan produktivitas tebu gula. Mengapa? Sebab, program itu terbukti tidak efektif dan efisien.

Pascareformasi politik, isu swasembada gula tak pernah menjadi arus utama. Yang ada hanya komitmen pemerintah yang seperti hanya menjadi ”janji politik” pucuk pimpinan negeri ini yang berganti-ganti. Agenda swasembada tanpa diikuti peta jalan yang jelas untuk mencapai target yang dipatoknya.

Singkatnya, sampai dengan beberapa tahun terakhir, pelbagai upaya memulihkan industri gula nasional belum pernah membuahkan hasil yang konkret. Bahkan, tanda-tanda untuk bisa memperbaikinya pun tak pernah tampak. Malah jumlah kuota gula impor tercatat terus bertambah.

Mengapa dulu tak berhasil dan kini baru menunjukkan titik terang? Rupanya ini masalah kesungguhan. Totalitas. Komitmen tinggi. Sejak terpilih memimpin PTPN Group, Ghani sangat bersungguh-sungguh dalam mendesakkan transformasi di BUMN gula yang dipimpinnya. Terlihat tekad lahir dan batin. Melakukan perubahan fundamental dengan sepenuh hati.

Bayangkan saja, ia tidak hanya merombak struktur dan budaya kerja untuk memperbaiki industri gula nasional. Tapi, juga merestrukturisasi dan mengonsolidasi PTPN Group yang gemuk dan lambat menjadi lebih cekatan. Merampingkan organisasi dari 14 PTPN menjadi tinggal 4 tanpa gejolak.

Juga, bisa merombak perusahaan pelat merah yang dulu digulung rugi menjadi untung dalam tiga tahun terakhir. Dengan demikian, perusahaan mampu menyelesaikan utang yang berjibun. Menjadikan perusahaan perkebunan yang puluhan tahun suram menjadi penuh berpengharapan.

Ia melakukan perombakan itu bukan tanpa risiko. Sebab, komoditas yang menjadi core business perusahaan pelat merah tersebut menjadi bagian dari ajang perebutan cuan para pemain besar. Yang bisa berbuat apa saja terhadap para penghalang mereka untuk mempertahankan cengkeramannya. Baik dalam ruang terang maupun gelap.

Hanya orang yang bekerja dengan hati yang bisa berhasil ”melawan” kekuatan besar itu. Modal keteguhan hati yang dipadu dengan kompetensi di bidang tata kelola dan agronomi. Dan, pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, itu memiliki semuanya. Berbagai aksi korporasi yang dilakukan ternyata membuahkan hasil nyata. 

Pertanyaannya kemudian, akankah tinta biru menuju peta jalan pemulihan industri gula ini berlanjut di pemerintahan baru mendatang? Tentu kita belum bisa menjawab sekarang. Namun, dari berbagai kesempatan, komitmen presiden terpilih Prabowo Subianto terhadap program kedaulatan pangan sungguh memberikan harapan baru.

Dari hasil penelitian, salah satu penyebab sukses perubahan di BUMN gula itu adalah tepat dalam merumuskan paradigma dan membangun ekosistem baru industri pergulaan nasional. Menggeser paradigma profitabilitas menjadi produktivitas. Paradigma itulah yang menuntunnya untuk memikirkan petani tebu yang menjadi andalan utama sumber bahan baku pabrik gula.

Paradigma produktivitas menjadi panduan norma yang tepat untuk komoditas berbasis rakyat. Apalagi, panduan norma tersebut kemudian diikuti tata kelola produksi yang memungkinkan ruang lebih besar untuk berbagi keuntungan dan risiko antara pabrik gula dan petani. 

Memang perlu strategi khusus untuk komoditas yang berbasis petani. Tidak serta-merta menyerahkannya secara penuh ke korporasi. Apalagi, korporasi swasta yang pasti menggunakan paradigma profitabilitas dalam manajerial-operasionalnya. 

Negara benar-benar perlu hadir di sini. Baik melalui BUMN maupun instrumen lainnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: