Muhammadiyah, Negara Pancasila, dan Darul Ahdi wa Syahadah
ILUSTRASI Muhammadiyah, Negara Pancasila, dan Darul Ahdi wa Syahadah. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Dalam sidang PPKI pada Agustus 1945, Ki Bagus mengusulkan perubahan rumusan sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Padahal, saat itu mayoritas anggota PPKI telah menyepakati pernyataan Piagam Jakarta yang di dalamnya terdapat rumusan sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya. Kesepakatan itu ternyata masih menyisakan persoalan.
Delegasi dari Indonesia Timur menyatakan keberatan dengan rumusan sila pertama Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Keberatan tersebut disertai ancaman keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menghadapi kondisi itu, tokoh-tokoh Islam berlapang dada. Mereka bersedia mengubah rumusan sila pertama Pancasila. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Islam telah memberikan pengorbanan yang luar biasa demi menjaga NKRI.
Kesediaan tokoh-tokoh muslim menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta menunjukkan bahwa substansi rumusan sila pertama Pancasila sesuai dengan jiwa tauhid dalam Islam. Perspektif sejarah itu penting untuk menegaskan bahwa tidak ada masalah dengan ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
TRANSNASIONALISME TERUS DISEMAI
Harus diakui, dampak dinamika politik global ternyata luar biasa pada pandangan sebagian aktivis gerakan politik Islam. Tampak ada pergulatan antara ideologi nasionalisme dan transnasionalisme. Dengan tanpa lelah kelompok berideologi transnasional terus bergerak.
Mereka menggelorakan pandangan politik transnasional melalui pendirian khilafah. Padahal, dalam konteks modern, batas wilayah setiap negara sangat jelas. Nasionalisme juga menjadi ideologi setiap negara.
Hal itu berarti tidak ada ruang sedikit pun untuk merealisasikan ideologi politik transnasional. Selain batas wilayah negara, sistem politik transnasional menghadapi persoalan figur yang disepakati umat sebagai khalifah.
Di tengah suasana politik aliran dan ideologi yang terus meningkat, gagasan negara khilafah jelas tidak mudah. Pasti terjadi tarik-menarik antarkelompok keagamaan terkait figur yang diusung sebagai khalifah. Apalagi, pengalaman sejarah Islam juga menunjukkan betapa sulitnya menyatukan suara umat di bidang politik.
Dinamika politik setiap pemilihan umum juga menunjukkan perbedaan perspektif yang tajam di kalangan politikus muslim terkait figur yang dicalonkan sebagai pemimpin nasional. Berdasar beberapa fakta itulah, ilmuwan politik asal Prancis, Oliver Roy, dalam The Failure of Political Islam (1994) menyebut cita-cita gerakan Islam politik sebagai Islamic political imagination (imajinasi politik Islam).
Sebagian pemikir muslim juga menyatakan bahwa ideologi politik transnasional sekadar ilusi alias tidak pernah ada dalam kenyataan.
Pengalaman di negara-negara Islam juga menunjukkan bahwa gagasan mendirikan khilafah tidak pernah sukses. Bahkan, organisasi-organisasi yang memperjuangkan negara khilafah harus menerima kenyataan dibubarkan pemerintah. Mereka akhirnya menempuh perjuangan melalui gerakan bawah tanah.
Mereka seakan menunggu momentum yang tepat untuk kembali tampil. Karena itulah, semua elemen bangsa penting mewaspadai munculnya kembali gerakan-gerakan berideologi transnasional.
AKHIRAN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: