Golput

Golput

ILUSTRASI golput alias golongan putih. Kini golput dipelesetkan menjadi golongan penerima uang tunai,-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Gerakan golput yang semula serius sekarang banyak dipelesetkan orang. Golput bukan golongan putih, melainkan ”golongan penerima uang tunai”. ”Gerakan” itu menjadi ekspresi kekecewaan terhadap praktik politik uang yang meluas di era reformasi.

Banyak juga yang menjadikan pemilu sebagai arena untuk ”berjuang”, akronim dari ”beras”, ”baju”, dan ”uang”. Lagi-lagi. Itu sindiran terhadap pemilu yang sudah terkontaminasi oleh praktik jual beli suara alias vote buying yang meluas.

Kalau mau membandingkan Pemilu 1971 dengan Pemilu 2024, mungkin bisa disimpulkan bahwa dua-duanya sama-sama brutal. 

Pemilu Presiden 2024 diwarnai dengan intimidasi dan pelibatan aparat negara secara masif. Ditambah lagi dengan pembagian dana bansos yang menggelontor deras.

Namun, Mahkamah Konstitusi tidak menemukan pelanggaran apa pun dalam Pemilu Presiden 2024. Semua gugatan dianggap tidak terbukti. Maka, Pemilu 2024 secara resmi dinyatakan sebagai pemilu bersih.

Pemilu 2024 benar-benar pemilu yang memilukan. Pemilu, dari kata dasar ”pilu”, benar-benar membuat hati pilu. Rezim Joko Widodo selama dua periode terlihat sebagai miniatur Orde Baru. Ada juga yang menyebutnya sebagai neo Orde Baru.

Dulu, pada zaman Pak Harto, partai-partai dikebiri secara paksa. Sekarang partai-partai dikebiri secara sukarela. Kalau tidak suka dan tidak rela, ketuanya akan dicopot. Kalau masih tidak suka dan tidak rela, akan dikriminalisasi. Dipaksa mundur atau masuk bui.

Pada zaman Pak Harto ada 10 partai, lalu menyusut menjadi 5, dan akhirnya menjadi 3 partai, rezim tripartai. Pada zaman Joko Widodo, jumlah partai banyak, tapi hakikatnya tunggal. Rezim Jokowi bisa disebut sebagai rezim partai tunggal.

Politik eksklusi menjadi senjata. Siapa yang tidak mau masuk koalisi, ia akan dikucilkan. Setelah sukses mengalahkan oposisi secara brutal dalam Pemilu Presiden 2024, rezim baru melanjutkan upaya dominasinya dengan menghabisi oposisi.

Pilkada serentak seluruh Indonesia dijadikan sebagai senjata pemungkas untuk menghabisi oposisi. Semua bisa ditundukkan. Satu yang tersisa adalah PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Satunya lagi ialah Anies Baswedan, tidak berpartai, tapi masih punya pengaruh.

Pilkada serentak hampir total dimenangkan rezim gabungan Jokowi-Prabowo. Tanpa malu-malu, tanpa sungkan-sungkan, Jokowi dan Prabowo secara terbuka berkampanye dan meng-endorse calon yang dijagokan.

Jokowi, seperti biasanya, mengandalkan ”pengaosan”. Bukan pengaosan dalam bahasa Jawa yang berarti pengajian. Melainkan, pengaosan (dari kata dasar kaos), yang berarti bagi-bagi kaos dengan melemparkannya dari atas mobil terbuka.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur Jokowi-Prabowo berjaya. Namun, di Jakarta duet ganda putra itu dipermalukan duet maut, Anies-Ahok. Duet tersebut membuktikan bahwa dalam politik minyak dan air bisa bersatu.

Anies Baswedan all-out mendukung pasangan Pramono-Si Doel. Artinya, Anies benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan jaringannya untuk memenangkan Pramono-Doel. 

Sementara itu, gabungan koalisi gemuk KIM Plus yang mengusung RK-Suswono juga ”all out” (semua keluar), meninggalkan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sendirian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: