Ramadan dan Antropologi Rasa

Ramadan dan Antropologi Rasa

ILUSTRASI Ramadan dan Antropologi Rasa.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:7 Amalan Wanita Haid di Bulan Ramadan

BACA JUGA:Penukaran Uang untuk Ramadan dan Idulfitri Sudah Dibuka, BI Siapkan Uang Kertas Hingga Rp180 Triliun

Ketika bahan pilihan pangan beragam dan tidak bergantung pada satu jenis bahan pangan, kelangkaan satu jenis pangan bukan sesuatu hal yang berarti. Orang akan dengan mudah berpindah mengonsumsi jenis lainnya. 

Hal tersebut adalah kekuatan dari satu daerah ketika mempunyai jenis pangan yang beragam. 

Akan tetapi, ketika keberagaman pangan tidak dikelola dengan benar, ada potensi bencana yang melanda. Keberagaman makanan akan berubah menjadi hierarkis makanan. 

Melalui makanan, kelas sosial dapat terbentuk. Salah satu contohnya adalah dominasi nasi sebagai makanan pokok. Nasi hari ini bukan sekadar makanan pokok. Ada lambang kelas dan identitas. 

Dalam kebudayaan mutakhir, ada anggapan yang memosisikan nasi sebagai bahan pokok utama. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah ketergantungan pada satu produk pangan tertentu. 

Kondisi tersebut kita sebut sebagai gastrokolonialisme. Yakni, sebuah kondisi ketergantungan pada produk pangan olahan impor. Konsekuensi dari kondisi tersebut akan mengakibatkan berkurangnya status kadar gizi pada masyarakat yang sebelumnya mengonsumsi jenis pangan lokal yang jauh lebih bergizi. 

GASTROKOLONIALISME

Craig Santos Perez, peneliti dan aktivis dari Guam, memperkenalkan istilah gastrokolonialisme untuk menggambarkan penjajahan pangan di sebuah daerah. Kondisi di atas bisa jadi terjadi di beberapa daerah di Indonesia. 

Satu daerah yang mempunyai sumber pangan lokal yang melimpah seperti sagu, ubi, ketela, jagung, dan sejenisnya, tetapi kini mulai tergeser oleh konsumsi pangan ultra-olahan, terutama beras dan gandum. Sebuah kondisi yang mungkin hari ini dihadapi sebagian masyarakat kita. 

Ramadan kali harus menjadi momentum melihat masakan dengan cara yang berbeda. Keberagaman masakan dan makanan Indonesia harus disadari sebagai bagian penting dari membangun ketahanan pangan. 

Tentu hal tersebut bukan pekerjaan mudah. Dalam perkembangannya, makanan terkait dengan kelas sosial. Hal tersebut selaras dengan Bourdieu (1979) yang menegaskan bahwa preferensi makanan seseorang atau kelompok mencerminkan posisi sosial dan budaya dalam masyarakat. 

Kecenderungan tersebut akan mudah membuat orang terjebak untuk merepresentasikan kelas tertentu. Akibatnya adalah monopoli jenis makanan tertentu untuk merepresentasikan kelas tertentu. 

Tentu kondisi tersebut tidak baik bagi keberagaman masakan Indonesia. Ramadan yang mulia ini harus menjadi momentum membangun kesadaran atas kekayaan kuliner Indonesia. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: