Menulis Ulang Sejarah, untuk Apa?

ILUSTRASI Menulis ulang sejarah nasional Indonesia, untuk apa?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
MENGANGKAT SEJARAH DARI AKAR RUMPUT
Kita juga perlu memberikan ruang besar bagi masyarakat akar rumput dalam narasi sejarah nasional yang baru ini. Versi pertama dari sejarah nasional Indonesia terlalu didominasi kaum elite –raja, panglima, dan tokoh politik.
Padahal, jika kita melihat lebih dalam lagi, rakyat biasa juga menopang perjalanan negara-bangsa ini.
Para petani yang mempertahankan tanahnya, kawan-kawan perempuan yang memperjuangkan haknya, hingga para nelayan yang mengarungi samudra tanpa peta menjadi contoh nyata bagaimana rakyat biasa juga berperan dalam perjalanan negara-bangsa.
Kita bisa melihat Afrika Selatan pasca-apartheid yang merekonstruksi sejarahnya dengan melibatkan korban, pelaku, dan saksi dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pun, Jerman yang secara terbuka menuliskan kelamnya masa Nazi dalam narasi publik, bukan untuk malu, melainkan untuk belajar.
Kita bisa mencontoh bagaimana keterlibatan masyarakat sipil dalam penulisan sejarah bisa menciptakan ruang keadilan memori.
MENDORONG LITERASI DECODING
Jika melihat wacana dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang mendorong generasi muda melek coding, itu memang relevan pada masa yang serbadigital ini.
Namun, yang tak kalah mendesak –dan bahkan lebih fundamental– adalah kemampuan decoding –kemampuan membaca konteks, menginterpretasi ulang naskah, relief, lontar, dan artefak yang tersebar sebagai serpihan sejarah.
Generasi muda kita harus diajak membaca ulang sejarah dengan cara yang kritis, bukan hanya hafalan. Pendidikan sejarah tidak sekadar mengingat tanggal dan nama, tetapi juga membangun daya tafsir dan daya hidup atas nilai-nilai masa lalu. Itulah yang akan membentuk bangsa yang bukan hanya melek teknologi, tapi juga melek literasi dan identitas.
SEJARAH UNTUK MASA DEPAN
Jika narasi besar bangsa hari ini adalah ”Indonesia Maju”, jangan sekali-kali membangun kemajuan dengan mencerabut diri dari akar budayanya. Budaya bukan penghalang kemajuan, melainkan fondasi identitas. Sejarah tidak sekadar memuliakan masa lalu, tapi juga merumuskan arah masa depan.
Maka, tugas kita tidak hanya menulis ulang sejarah. Kita harus membacanya ulang, menafsirkannya dengan kesadaran baru, dan menuliskannya dengan keberanian: bangsa ini besar bukan karena kejayaan silam, melainkan karena kemampuannya belajar dari masa lalu secara jujur dan inklusif.
Karena itulah, sejarah tak boleh lagi menjadi milik para elite. Ia harus menjadi milik rakyat biasa! (*)
*) Probo Darono Yakti adalah Dosen pengampu kajian keindonesiaan I di FISIP, Unair.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: