Menulis Ulang Sejarah, untuk Apa?

ILUSTRASI Menulis ulang sejarah nasional Indonesia, untuk apa?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Batik Lurik: Sejarah, Makna dan Filosofi, serta Jenisnya
Narasi itu disebarkan melalui buku pelajaran, novel, dan film, lalu diam-diam mengendap menjadi kebenaran tunggal dalam ingatan kolektif bangsa, lalu menjelma sebagai kebenaran yang tak tergugat!
Dampaknya, publik menempatkan PKI sebagai satu-satunya dalang dari peristiwa itu sehingga mempersekusi mereka tanpa pandang bulu. Dari situ, bisa dibilang bahwa sejarah pada masa Orde Baru ditempatkan sebagai alat politik dan legitimasi kekerasan.
Melihat fenomena hari ini, kita menghadapi tantangan lain dari sejarah, yaitu glorifikasi masa silam yang tidak kalah problematik.
MENGHINDARI GLORIFIKASI MASA SILAM
Kita perlu keluar dari glorifikasi masa silam. Sejarah tidak seharusnya menjadi panggung untuk nostalgia kekuasaan atau kejayaan imperium masa lalu.
Narasi poros maritim dunia yang mendewakan Majapahit, misalnya, justru menutup kemungkinan untuk membicarakan potensi maritim hari ini secara rasional dan faktual. Maka, sejarah tidak sekadar mengenang, tetapi membaca ulang masa lalu sebagai cermin arah masa depan.
Kini saatnya berhenti menempatkan sejarah sebagai kisah kejayaan masa lalu yang berujung pada romantisme. Sejarah sebenarnya bisa ditempatkan sebagai refleksi kolektif bangsa untuk berjalan ke depan.
Sebagai contoh, Amerika Serikat, dengan semangat ”the American dream”, dibentuk bukan dari kejayaan masa lalu, melainkan dari visi masa depan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Amerika Serikat yang menempatkan sejarah sebagai navigasi ke depan, bukan tenggelam di masa lalu.
MELAMPAUI WARISAN POSKOLONIAL
Penulisan sejarah nasional yang baru sudah seharusnya bisa lepas dari bayang-bayang poskolonialisme yang membentuk rasa minder terhadap pengetahuan dan sistem nilai lokal.
Sudah saatnya kita tidak hanya mengutip karya sejarawan Barat, tetapi membangun cara pandang sendiri yang setia pada konteks sosial dan budaya Nusantara.
Toh, sudah banyak sejarawan Indonesia yang memiliki kualitas sebanding sejarawan Barat. Nama seperti Abidin Kusno, Bambang Purwanto, Purnawan Basundoro, dan Sarkawi B. Husain menjadi contoh nyata sejarawan Indonesia yang sudah berulang kali bekerja sama dengan sejarawan Barat.
Sudah seharusnya pula proyek sejarah nasional yang baru tak boleh eksklusif. Ia perlu melibatkan akademisi dari bidang lain seperti filolog, arkeolog, budayawan, bahkan akademisi hubungan internasional.
Perspektif lintas ilmu akan memperkaya konstruksi sejarah dengan berbagai tafsir geopolitik, kultural, dan ekologis yang selama ini terabaikan. Misalnya, arkeolog mampu membaca artefak, filolog dapat menelusuri naskah kuno, dan antropolog bisa menggali laku budaya masyarakat yang tidak tercatat dalam sejarah resmi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: