Robohnya Media Massa Kami

Robohnya Media Massa Kami

ILUSTRASI A.A.I. Prihandari Satvikadewi .-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Maka, realitas yang kita kenal melalui media bukanlah realitas objektif, melainkan realitas yang dikonstruksi oleh sistem komunikasi media itu sendiri. Realitas tersebut bersifat ganda. 

Di satu sisi, ada realitas ”operasional” media –yakni tayangan, cetakan, siaran. Di sisi lain, ada realitas ”yang tampak” –yakni dunia yang dibentuk oleh berita, framing, dan penekanan selektif yang dikonsumsi publik. Itulah yang disebut Luhmann sebagai doubling of reality.

MEDIA SOSIAL DAN KERUNTUHAN STRUKTUR

Hari ini media sosial telah mengambil alih fungsi-fungsi yang dahulu dijalankan media massa: menyampaikan kabar, membentuk opini, bahkan memengaruhi kebijakan. Namun, apakah media sosial bisa disebut sebagai penerus sistem komunikasi media massa? Tidak sepenuhnya. 

Media sosial tidak beroperasi dengan kode biner informasi vs noninformasi, tetapi dengan logika engagement: viral vs tidak viral, disukai (like) vs diabaikan (swipe). Itu bukan sekadar pergeseran teknis, melainkan pergeseran struktural. 

Di dalam istilah Luhmann, itu berarti media sosial telah membentuk sistem baru dengan kode, logika, dan mekanisme reproduksi yang berbeda.

Konsekuensinya luar biasa. Di media massa, ada batas jelas antara pengirim dan penerima pesan. Di media sosial, semua orang adalah komunikator sekaligus konsumen. Struktur self-reference –dalam hal ini kemampuan media untuk membangun identitas dan otoritasnya sendiri– telah terfragmentasi. 

Tidak ada redaksi. Tidak ada agenda penyuntingan. Tidak ada pengikat makna bersama. Akibatnya, publik kehilangan referensi bersama. Tidak ada lagi ”isu nasional” yang benar-benar menyatukan. 

Sebab, setiap kelompok hidup dalam gelembung algoritmik masing-masing. Dalam istilah Luhmann, sistem kehilangan kemampuan generalisasi –kemampuan untuk menjadikan isu sebagai milik semua.

INDONESIA: MASYARAKAT TANPA RUANG TENGAH

Di Indonesia, gejala itu sangat terasa. Polarisasi politik dalam Pemilu 2014, 2019, dan terakhir 2024 memperlihatkan bagaimana media sosial telah menjadi medan tempur informasi, bukan arena diskusi. 

Hoaks menyebar cepat. Kecurigaan antarkelompok meningkat. Yang viral bukan yang benar, melainkan yang emosional. Kita kehilangan apa yang dulu dimiliki media massa: ruang tengah bagi realitas bersama.

Kini keruntuhan itu bukan hanya metaforis. Industri media Indonesia berada dalam gelombang efisiensi brutal. Ratusan jurnalis dirumahkan, bahkan dari kelompok media besar yang dulu menjadi acuan nasional. 

Pemutusan hubungan kerja massal terjadi bersamaan dengan turunnya belanja iklan, berkurangnya sirkulasi cetak, dan migrasi pembaca ke platform digital yang tidak memberikan imbal hasil yang setara. 

Redaksi dipangkas, liputan investigatif dihentikan, dan ruang redaksi yang dulu dipenuhi dinamika kini sepi oleh otomatisasi dan algoritma klik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: