Robohnya Media Massa Kami

ILUSTRASI A.A.I. Prihandari Satvikadewi .-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Apa yang dahulu menjadi kekuatan utama media massa –struktur editorial, standar verifikasi, proses penyuntingan berlapis– kini dipaksa menyesuaikan dengan irama ekonomi baru yang tak memberikan ruang untuk keraguan atau penundaan.
Praktik jurnalistik ikut terdampak. Bukannya mengejar kedalaman, banyak media kini mengejar kecepatan, mengorbankan akurasi. Bukannya gate-keeping, mereka justru ikut-ikutan yang lagi trending.
Itulah bentuk keruntuhan yang sesungguhnya: bukan semata karena khalayak atau audiens berpaling, meliankan karena sistem itu sendiri kehilangan kemampuan untuk mereproduksi logikanya secara utuh.
Dalam istilah Luhmann, sistem media gagal menjaga operational closure-nya –gagal menjaga identitas operasionalnya dari tekanan lingkungan yang makin mendikte arah dan isi komunikasinya.
MEMBACA ULANG REALITAS, MEMBANGUN ULANG KOMUNIKASI
Sungguhpun demikian, Luhmann tidak menggiring kita untuk bernostalgia. Ia justru mengajak kita untuk mengamati sistem itu secara dingin, sebagai observasi terhadap sistem pengamat. Pertanyaannya bukan ”siapa yang benar”, melainkan ”bagaimana realitas sedang dibentuk oleh sistem komunikasi yang baru itu?”
Jika realitas sosial dibentuk melalui konstruksi komunikasi, yang kita butuhkan bukan hanya koreksi informasi, melainkan juga rekonstruksi sistem komunikasi.
Di Indonesia, itu berarti, pertama, menumbuhkan literasi struktural, tidak hanya cek fakta, tetapi juga pemahaman tentang bagaimana informasi diproduksi dan disebarkan.
Kedua, membangun kembali coupling antara sistem media dan sistem sosial lainnya –politik, hukum, pendidikan– agar komunikasi tidak melulu ditentukan oleh algoritma.
Ketiga, menyadari bahwa komunikasi yang kita jalani bukanlah representasi dunia, melainkan produksi dunia, kemudian bertindak sebagai warga yang aktif memilih dan merefleksi realitasnya.
Luhmann tidak menawarkan kepastian. Namun, seperti cerita A.A. Navis, ia mengajak kita merenung: jangan-jangan sistem yang kita kira benar justru tak memiliki atau telah kehilangan tempatnya dalam kenyataan.
Maka, tugas kita tidak sekadar meratapi robohnya ”surau" itu, tetapi juga mulai membangun sistem komunikasi yang lebih adil, terbuka, dan sadar akan logika diri sendiri. (*)
*) A.A.I. Prihandari Satvikadewi adalah dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Untag Surabaya dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi, UGM, Yogyakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: