Seri Sang Putra Fajar (4): Saja Arek Soerabaia

Seri Sang Putra Fajar (4): Saja Arek Soerabaia

Jejak perjalanan Bung Karno dalam Museum Rumah Lahir Bung Karno di Pandean, Peneleh, Surabaya.-Dinar Mahkota Parameswari-Harian Disway

Sedangkan di sisi kanan, ada ruang Koesno dan ruang Srimben. Saling bersebelahan.

Di ruang Srimben, pengunjung bisa mengetahui profil dari Soekarno secara sekilas dengan teknologi Augmented Reality (AR).

BACA JUGA:DPC PDIP Gresik Meriahkan Bulan Bung Karno dengan Aksi Sosial, Turnamen Catur, dan Ziarah ke Makam Sang Proklamator

Pengunjung pun bisa mengabadikan foto mirror selfie dengan gambar kartun Soekarno.

Bahkan serasa masuk ke dalam cerita biografinya yang terdiri dari tiga fase: kelahiran, perjalanan belajar, sampai menjadi Bapak Proklamasi.


Bangunan yang diduga kuat sebagai rumah kelahiran Bung Karno. Kini menjadi Museum Kelahiran Bung Karno di Pandean, Peneleh, Surabaya.-Dinar Mahkota Parameswari-Harian Disway

Jika ingin mengetahui biografinya secara lengkap, juga pendapat para pakar dan pegiat sejarah, pengunjung bisa memasuki ruang Koesno. Nama ruang tersebut diambil dari nama lahir Bung Karno.

BACA JUGA:Festival Budaya Bulan Bung Karno Wujud Cinta Kota Blitar

“Soekarno di rumah ini sampai usia 6 bulan saja. Jadi, ceritanya lebih banyak tentang orang tuanya. Mereka bisa ada di Surabaya karena ayahnya dulu mengajar di Indlandsche School. Sekarang menjadi SD Soeloeng," ujar Agata Wira Yudha, Pemandu Wisata Museum Rumah Lahir Bung Karno.

Berdasarkan buku biografi Soekarno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adams, saat Soekarno lahir, keluarganya hidup sangat sederhana.

Bahkan Soekeni tidak mampu memanggil dukun bayi. Proses kelahiran Bung Karno hanya ditemani oleh sahabat keluarga mereka. Yakni seorang kakek tua yang merupakan tetangga rumahnya.

BACA JUGA:Sarasehan Bulan Bung Karno, Ketimpangan Ekonomi Jadi Perhatian PA GMNI Jatim

Sebagai guru, Soekeni kerap dipindahtugaskan. Sehingga tempat tinggal mereka pun berpindah-pindah. Seperti di Jombang, Sidoarjo, Mojokerto, dan Blitar. Soekeni tidak pernah punya rumah yang tetap.

“Gaji yang diterima oleh Soekeni saat itu sekitar 27 gulden selama satu bulan. Tentu saja bukan gaji yang ideal untuk seorang kepala rumah tangga yang memiliki 2 anak. Tapi, gaji para bupati saat itu hampir 1.000 gulden. Ini berarti ada jarak yang sangat jauh,” tutur Prof Purnawan Basundoro, sejarawan FIB UNAIR Surabaya dalam film dokumenter tersebut.

Kuncarsono Prasetyo, pegiat sejarah dari komunitas Begandring Surabaya, menyebut bahwa kesimpulan penetapan rumah Pandean tersebut berdasarkan riset partisipatif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway