Berebut Pulau dan Pendapatan

ILUSTRASI Berebut Pulau dan Pendapatan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
UU tersebut menggariskan prinsip kewenangan daerah yang seluas-luasnya dalam mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat.
Otonomi yang seluas-luasnya dalam kerangka ini juga berkaitan dengan kewenangan serta keleluasaan untuk menggali sumber-sumber pendapatan sendiri sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Pulau-pulau, gunung, hutan, dan sebagainya menjadi begitu penting bagi pemerintah daerah karena bisa menjadi sumber pendapatan daerah.
Apalagi, jika aset itu memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Bisa karena adanya kandungan tambang dan energi atau potensi lain seperti pariwisata. Empat pulau yang diperebutkan Pemprov Aceh dan Sumatera Utara, misalnya, disebut-sebut memiliki simpanan minyak dan gas yang tinggi. Yang jika berhasil dieksporasi, bisa menghasilkan pendapatan yang besar bagi pemerintah daerah sebagai pendapatan asli daerah (PAD).
PAD menjadi makin penting karena pemerintah pusat terus mengurangi dana perimbangan, baik berupa dana alokasi umum (DAU) maupun dana alokasi khusus (DAK). Keuangan negara yang terbatas membuat pemerintah melakukan hal tersebut, sementara banyak pemerintah daerah telanjur mengandalkan dana perimbangan itu untuk membayar pengeluaran rutin seperti gaji pegawai negeri (PNS).
Tentu saja, pengurangan transfer DAU dan DAK sangat berdampak bagi keberlangsungan roda pemerintah paerah. Sebab, pendapatan asli daerah (PAD) banyak pemerintah daerah masih sangat kecil. Banyak daerah mengandalkan dana perimbangan keuangan dari pemerintah pusat untuk kelangsungan pemerintah daerah.
Itu karena secara rata-rata, kontribusi PAD terhadap APBD pemerintah daerah –terutama kabupaten/kota, hanya 30 hingga 40 persen. Bahkan, banyak pemerintah kabupaten yang PAD-nya hanya menyumbang 10 persen APBD. Artinya, kabupaten itu sangat menggantungkan dana perimbangan keuangan dari pemerintah pusat.
Dengan kondisi tersebut, aset seperti pulau, gunung, dan hutan menjadi sangat penting bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pemda yang memiliki aset potensial berpeluang memperoleh pendapatan yang besar.
Kita bisa melihat Kabupaten Bojonegoro sebagai contoh. Potensi minyak yang besar di darat (onshore) menjadikan kabupaten itu kaya raya. Sebab, kewenangan di darat memang berada di pemkab, kewenangan laut hingga 12 mil laut dari garis pantai berada di provinsi, dan di atas 12 mil laut menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Karena eksplorasi Blok Cepu ada di kewenangan Pemkab Bojonegoro (onshore), bagi hasil yang besar untuk pemkab. Begitu juga jika eksplorasi minyak dan gas berada di laut (offshore) sampai 12 mil laut, bagi hasil yang besar ada di pemprov, sedangkan di atas 12 mil laut menjadi hak pemerintah pusat.
Sebenarnya banyak pemda yang memiliki aset-aset potensial. Namun, banyak aset pemda yang belum dimanfaatkan dan didayagunakan dengan baik. Hal itu, antara lain, diindikasikan dari tiga keadaan.
Status penggunaan idle (belum dimanfaatkan atau menganggur). Banyak aset daerah berupa tanah dan aset lainnya menganggur sehingga tidak memberi nilai tambah bagi pendapatan daerah. Selain itu, banyak juga yang pemanfaatannya tidak maksimal, bahkan merugi karena biaya perawatan dan pengelolaannya lebih besar.
Karena begitu pentingnya aset bagi pemerintah daerah di era otonomi ini, penataan administrasi wilayah menjadi begitu penting. Kemendagri harus ekstra hati-hati dalam melakukan proses evaluasi mengenai pulau atau aset yang berpotensi menjadi sengketa antar pemerintah daerah.
Keputusan harus tidak bisa didasarkan hanya pada data geografis, tapi juga memperhatikan historis dan kesepakatan-kesepakatan masa lalu untuk menghindari sengketa yang bisa berujung pada konflik horizontal.
Kasus sengketa pulau seperti itu bisa jadi sangat banyak di daerah. Sebab, Indonesia memang negara kepulauan yang jumlahnya diperkirakan mencapai 17 ribu, dan 9.000 di antaranya berpenghuni. Banyak pulau kecil –terutama yang tidak berpenghuni– belum memiliki kejelasan administratif.
Jika tidak ditata dengan baik, itu berpotensi menimbulkan konflik, bahkan ketegangan horizontal, yang juga akan mengganggu pelayanan publik. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: