Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM): Pembelajaran dari 80 Tahun Perjalanan Bangsa

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM): Pembelajaran dari 80 Tahun Perjalanan Bangsa

ILUSTRASI Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM): Pembelajaran dari 80 Tahun Perjalanan Bangsa.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Pandemi Covid-19, dengan segala kepahitannya, memaksa kita berinovasi. Guru-guru yang tadinya gagap teknologi tiba-tiba jadi youtuber dadakan.

MENARI DI ANTARA BADAI GLOBAL

Globalisasi datang bagai badai yang tak terelakkan. Anak-anak kita berkompetisi tidak lagi dengan teman sebangku, tetapi dengan jutaan pemuda dari Beijing, Bangalore, hingga Berlin. Artificial intelligence mengancam pekerjaan-pekerjaan tradisional. 

Robot mulai menggantikan buruh pabrik. Algoritma lebih pintar daripada akuntan.

Tapi, tunggu dulu. Bukankah itu juga peluang?

Indonesia punya sesuatu yang tidak dimiliki robot: kreativitas yang lahir dari keberagaman. Tiga ratus lebih suku, tujuh ratus lebih bahasa daerah, ribuan pulau dengan karakter masing-masing. Itu bukan kelemahan yang harus diseragamkan, melainkan kekuatan yang harus diorkestrasikan. 

Seorang programmer Batak yang memahami ulos, seorang desainer Jawa yang menguasai batik, seorang arsitek Bugis yang paham filosofi rumah panggung, mereka semua punya nilai tambah yang tidak bisa ditiru AI.

Masalahnya, sistem pendidikan kita masih terjebak pada uniformitas. Ujian nasional yang seragam, standar kompetensi yang kaku, penilaian yang melulu kognitif. Kita seperti pabrik yang mencetak robot, padahal yang dibutuhkan adalah seniman kehidupan.

PANCASILA: KOMPAS YANG TERLUPAKAN

Di sinilah Pancasila seharusnya menjadi kompas. Bukan Pancasila sebagai hafalan butir-butir yang membosankan, tapi sebagai way of life, cara pandang membangun manusia.

Sila pertama mengajarkan spiritualitas –bukan fanatisme, melainkan kesadaran bahwa manusia bukan sekadar homo economicus. Di era burnout dan quarter-life crisis merajalela, dimensi spiritual menjadi oasis. Pengembangan SDM yang mengabaikan aspek itu akan menghasilkan robot-robot cerdas, tapi hampa jiwa.

Sila kedua mengingatkan bahwa kompetisi harus diimbangi kolaborasi. Model winner takes all yang dipuja kapitalisme global bertentangan dengan jiwa gotong royong kita. Mengapa kita harus meniru Silicon Valley kalau kita bisa menciptakan ”Nusantara Valley” dengan karakteristik sendiri?

Sila ketiga menegaskan bahwa Jakarta bukan Indonesia. Pengembangan SDM yang Jakarta-sentris adalah pengkhianatan terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Talenta-talenta terbaik dari Wamena, Atambua, atau Natuna punya hak sama untuk berkembang. Internet seharusnya menjadi great equalizer, tetapi realitasnya? Anak di Papua masih harus memanjat pohon untuk mendapat sinyal.

Sila keempat mengajarkan musyawarah, bukan top-down policy. Berapa banyak kebijakan pendidikan yang lahir dari ruang ber-AC di Senayan tanpa pernah bertanya pada guru honorer di Lebak atau orang tua murid di Manggarai? Pengembangan SDM yang partisipatif tidak hanya lebih demokratis, tetapi juga lebih efektif.

Sila kelima, ”keadilan sosial”, adalah muara dari semuanya. Apa gunanya mencetak SDM unggul kalau hanya untuk memperlebar kesenjangan? Anak sopir harus punya kesempatan sama dengan anak direktur. Itu bukan komunisme, itu keadilan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: