Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM): Pembelajaran dari 80 Tahun Perjalanan Bangsa

ILUSTRASI Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM): Pembelajaran dari 80 Tahun Perjalanan Bangsa.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
MERAJUT BENANG KUSUT
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Pertama, berhenti melihat pendidikan sebagai proyek, mulai melihatnya sebagai proses. Finlandia tidak menjadi nomor satu dalam semalam. Mereka butuh 30 tahun reformasi konsisten, lintas pemerintahan, lintas partai. Kita? Ganti menteri ganti kebijakan, seperti anak kecil yang bosan mainan.
Kedua, hapus dikotomi kuno. Dokter yang bisa bertani, petani yang melek digital, seniman yang paham bisnis. Itu bukan fantasi, melainkan kebutuhan. Spesialisasi tetap perlu, tetapi fondasi yang holistik lebih penting. Renaissance men and women, begitu kata orang Barat. Kita punya istilah lebih indah: manusia paripurna.
Ketiga, desentralisasi dengan cerdas. Biarkan Aceh mengembangkan kurikulum syariah yang moderat, biarkan Bali memasukkan seni tari ke pelajaran wajib, biarkan Papua mengajarkan navigasi hutan. Unity in diversity bukan hanya slogan, melainkan juga strategi.
Keempat, rangkul teknologi tanpa kehilangan jiwa. Online learning, AI tutor, virtual reality, semuanya adalah alat, bukan tuan. Teknologi harus memanusiakan, bukan mengasingkan. Guru tidak akan tergantikan, perannya hanya berubah: dari sage on the stage menjadi guide on the side.
Kelima, dan mungkin paling penting: kembalikan martabat pada semua profesi. Tukang las yang mahir sama mulianya dengan profesor. Petani organik sama pentingnya dengan programmer. Ibu rumah tangga yang mendidik generasi penerus sama strategisnya dengan CEO.
EPILOG: API YANG TERUS MENYALA
Kembali ke ruang kelas tua di Yogyakarta tahun 1946 itu. Guru dengan senapan di bahu itu bernama Soedarsono. Murid-muridnya kemudian menjadi dokter, insinyur, guru, tentara, bahkan ada yang jadi tukang becak. Namun, semuanya punya satu kesamaan: mereka percaya bahwa belajar adalah jihad seumur hidup.
Soedarsono tidak pernah tahu bahwa salah seorang muridnya kelak akan mendirikan universitas. Atau, cucunya akan bekerja di Google. Atau, cicitnya akan menciptakan aplikasi yang dipakai jutaan orang.
Ia hanya tahu satu hal: api kemerdekaan harus terus menyala dan bahan bakarnya adalah ilmu pengetahuan yang dijiwai nilai-nilai luhur.
Delapan puluh tahun adalah waktu yang cukup untuk belajar dari kesalahan. Cukup untuk memahami bahwa pembangunan SDM bukan sprint, melainkan maraton. Bukan proyek mercusuar, melainkan gerakan masif dari akar rumput. Bukan tentang menciptakan sedikit elite, melainkan tentang mengangkat harkat banyak orang.
Di co-working space Jakarta Selatan itu, anak-anak muda masih asyik berdiskusi. Mereka tidak sadar bahwa DNA Soedarsono mengalir dalam darah mereka: semangat untuk terus belajar, terus berkarya, terus berbagi. Mereka adalah bukti bahwa api itu masih menyala.
Pertanyaannya sekarang, sanggupkah kita menjaga api itu untuk 80 tahun mendatang? (*)
*) Yudi Fathoni Wijaya adalah Mahasiswa S-3 PSDM, Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: