Taylor Swift Merebut Ophelia
ILUSTRASI Merebut Ophelia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
William Etty, dalam The Sirens and Ulysses (1837), melukis tubuh-tubuh perempuan yang dipenuhi cahaya dan ancaman. Menggambarkan tubuh perempuan sebagai daya tarik yang mematikan, perpaduan antara pesona dan bahaya.
Siren-siren Etty bukan makhluk jahat, melainkan lambang ambiguitas perempuan dalam budaya patriarkal: ditakuti karena kekuatannya, dipuja karena kecantikannya. Dalam video Swift, siren menjadi metafora yang penting: perempuan yang suaranya pernah dibungkam kini bernyanyi lebih keras dari ombak.
Dia mengundang, tidak untuk menenggelamkan, tapi untuk menyadarkan. Swift mengubah mitologi tentang bahaya feminin menjadi alegori pemberdayaan: suara perempuan sebagai kekuatan, bukan kutukan.
Apa yang Swift lakukan lewat The Fate of Ophelia adalah wujud penghormatan pada seni klasik, sekaligus mengguncang tatanan ideologisnya. Dia tahu bahwa citra-citra perempuan dalam sejarah seni sering dibungkus keindahan, tapi kehilangan makna. Maka, Swift pun merebutnya kembali.
Dengan visual yang khas era klasik Eropa, warna-warna lembut dan sendu, dan tempo potongan video yang terus mengalir seperti air sungai, dia berbicara kepada generasi muda (terutama perempuan) bahwa menjadi lembut tidak berarti lemah. Bahwa menjadi sensitif bisa juga menjadi manifestasi kekuatan.
Gen Z, yang tumbuh dalam dunia serbavisual, kerasnya kompetisi, dan tekanan sosial, dapat melihat diri mereka dalam refleksi Ophelia versi Swift. Mereka tahu rasanya terombang-ambing antara ekspektasi dan kenyataan, antara ingin bebas dan takut jatuh.
”Late one night, you dug me out of my grave and saved my heart from the fate of Ophelia,” menjadi direct message dari Swift ke Swifties maupun bukan, bahwa di balik setiap luka, selalu ada kemungkinan untuk bangkit, untuk diselamatkan, bahkan jika penyelamat itu adalah diri sendiri.
Di situ letak kegeniusan Swift. Dia meminjam ikon-ikon masa lalu untuk bicara tentang masa kini. Ia mengubah tragedi menjadi cermin, kesadaran. The Fate of Ophelia menjadi metafora tentang bagaimana generasi muda belajar berdamai dengan kesedihan tanpa kehilangan kendali atas kisahnya sendiri.
Sejarah, seperti sungai, selalu bisa ditafsir ulang. Dan, setiap generasi berhak menentukan bagaimana dia ingin berenang di dalamnya, bagaimana dia ingin menulis ulang sejarahnya. (*)
*) Aniendya Christianna adalah dosen desain komunikasi visual, Universitas Kristen Petra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: