Dasar, Bangsa Gila Gelar!
ILUSTRASI Dasar, Bangsa Gila Gelar!-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Kronisnya lagi, orang-orang yang memilih untuk menanggalkan gelarnya sering kali merasa inferior di depan para pengagum gelar. Basar, bangsa gila gelar!
ANTAGONIS YANG BERGELAR PAHLAWAN
Gelar yang tak kalah pentingnya adalah gelar pahlawan. Seorang yang dinilai telah berjasa penuh untuk negaranya.
Entah jasa baik atau buruk, tapi kalau sudah bergelar pahlawan, ia sudah ”lumayan suci” untuk dituliskan dalam sejarah dan pembahasan di masa yang akan datang.
Gelar itu secara rutin diberikan setiap tanggal 10 November oleh presiden.
Kan, itu cuman gelar semata, apa pentingnya?
Gelar pahlawan itu bukan lagi gelar sosial yang bersifat formal belaka. Bukan tidak mungkin jika ruang-ruang pembicaraan masa yang akan datang akan berisi revisi-revisi dari sekumpulan catatan dosa-dosanya.
Dampak jangka panjangnya?
Jelas, seorang pahlawan akan dilihat sebagai tokoh teladan sebuah bangsa. Akan bernasib nahas jika generasi penerus bangsa ini meng-copy paste perilakunya karena dinilai sebagai seorang pahlawan. Benar-benar mengkhawatirkan.
BANGSA BESAR YANG KEBESARANNYA MENUTUPI LOGIKA SEHAT PEJABATNYA
Gembar-gembor bangsa besar selalu menjadi intro dari pidato-pidato kenegaran. Template kalimatnya pun begitu-begitu saja. Kalau tidak pakai diksi besar, ya diksi kaya.
Dua diksi yang selalu diidam-idamkan penghuninya.
Kebesaran bangsa ini memang sudah banyak diakui negara lain. Namun, kebesaran itu sering kali justru menutupi logika sehat pejabatnya.
Mereka merasa sedang membangun kebajikan kepada rakyatnya dan ketika akhirnya gelar pahlawan bisa jatuh ke tangan siapa pun, bahkan kepada sosok yang pernah menakuti bangsanya sendiri, barangkali saat itu kita memang sudah benar-benar besar. Besar karena bisa menelan logika, nurani, dan sejarah sekaligus tanpa tersedak.
Mungkin beginilah cara kita jadi bangsa besar: gemar mengagungkan, malas mengingat, dan cepat sekali melupakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: