Meraba Wajah Prostitusi di Surabaya Saat Ini
ILUSTRASI Meraba Wajah Prostitusi di Surabaya Saat Ini.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
DARI PENGAWASAN TERITORIAL KE PENGAWASAN TERSEBAR
Digitalisasi prostitusi menciptakan pola kekuasaan baru yang dapat dibaca melalui pendekatan Michel Foucault, khususnya konsep disciplinary power dan governmentality.
Dalam lokalisasi, negara dapat melakukan kontrol langsung, seperti razia, pendataan, pemeriksaan kesehatan.
Lokalisasi yang terpusat memungkinkan bentuk kontrol sosial yang jelas, seperti pemeriksaan kesehatan, pengawasan keamanan, dan pembatasan ruang. Namun, ketika prostitusi bergerak ke ruang privat dan digital, pengawasan berubah menjadi lebih tersebar dan tidak langsung.
Paradoksnya, digitalisasi tidak menghapus pengawasan. Ia memindahkannya menjadi pengawasan yang tersebar melalui algoritma platform, pelaporan warga, dan aparat siber.
Penutupan lokalisasi menjadikan prostitusi tak terlihat –sebuah bentuk governmentality untuk menjaga citra kota. Prostitusi tetap berlangsung, tetapi dipindahkan ke ruang yang tidak mengganggu wacana publik tentang ketertiban dan moralitas.
RUANG KOTA SURABAYA SEBAGAI ARENA NEGOSIASI DIGITAL
Ruang Kota Surabaya saat ini merupakan arena negosiasi digital yang melibatkan pemerintah, warga, dan platform digital. Ruang fisik dan ruang digital tidak berdiri sendiri –keduanya saling memengaruhi konstruksi identitas kota, fungsi ruang publik, dan relasi kekuasaan.
Surabaya bukan hanya ”kota fisik”, melainkan juga kota yang dibentuk oleh unggahan, komentar, algoritma, dan interaksi digital.
Dalam konteks urbanisme kontemporer, prostitusi digital Surabaya menunjukkan bagaimana ruang kota tidak lagi sekadar fisik, tetapi juga hibrida. Yakni, persilangan antara lokasi geografis dan jaringan digital.
Surabaya dengan transportasi online, apartemen vertikal, dan ruang komersial padat menciptakan ekologi mobilitas cepat. Prostitusi mengikuti logika yang sama: cepat, fleksibel, tanpa lokasi tetap.
JALINAN ANTARA RUANG DIGITAL DAN RUANG KOTA
Menutup tulisan ini, tampak wajah baru prostitusi Surabaya merupakan produk dari keterjalinan antara ruang digital dan ruang kota. Digitalisasi memungkinkan prostitusi bertahan setelah penutupan lokalisasi, tetapi juga mengubah karakter praktiknya: lebih tersebar, fleksibel, dan sulit diawasi.
Di sisi lain, struktur kota modern –apartemen, transportasi online, ruang komersial– menjadikan praktik itu terintegrasi secara tak langsung ke dalam ritme urban.
Fenomena tersebut menuntut perspektif yang melihat kota bukan hanya sebagai ruang fisik, melainkan juga sebagai ruang hibrida yang diproduksi oleh teknologi, mobilitas, dan interaksi sosial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: