BNPB di Persimpangan Jalan dan Urgensi Menghadirkan Pemimpin Berorientasi Kemanusiaan
ILUSTRASI BNPB di Persimpangan Jalan dan Urgensi Menghadirkan Pemimpin Berorientasi Kemanusiaan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:BMKG dan BNPB Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Antisipasi Banjir Lahar Dingin Semeru
Kegelisahan publik hari ini bukan tentang mempertentangkan militer dan sipil, melainkan tuntutan agar siapa pun yang memimpin BNPB –entah sipil ataupun militer– adalah figur terbaik yang memadukan ketegasan profesional dengan kepekaan kemanusiaan.
Sejarah BNPB pernah mencatat fase keemasan ketika lembaga tersebut dipimpin figur visioner, termasuk dari kalangan militer, yang membangun jejaring sipil-militer yang solid, memperkuat sistem komando terpadu, dan menjadikan relawan mitra strategis negara.
Kemajuan itu tidak lahir sendirian, tetapi dari karakter pemimpin yang merangkul semua unsur, bukan menganggap mereka sebagai variabel bawahan.
BACA JUGA:Prabowo Perintahkan BNPB Gerak Cepat Tangani Longsor Cilacap, 512 Personel Dikerahkan
BACA JUGA:BNPB Gerak Cepat Tangani Longsor Cilacap, 20 Orang Warga Masih Hilang
Paradigma itulah yang menurut banyak pemerhati kebencanaan perlu dipulihkan. Evaluasi terhadap kepemimpinan hari ini tidak untuk menyalahkan individu, tetapi untuk memastikan arah lembaga tidak makin jauh dari marwahnya sebagai penjaga kemanusiaan.
MENCARI FIGUR ALTERNATIF: KETIKA REKAM JEJAK BICARA
Dalam konteks itulah, nama Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A. mengemuka sebagai figur profesional yang dinilai memiliki kombinasi ketangguhan operasional dan sensitivitas kemanusiaan.
Track record jenderal bintang dua yang kini menjabat tenaga ahli pengkaji Bidang Sumber Kekayaan Alam Lemhannas RI itu tidak dibangun di atas rapat konferensi, tetapi ditempa oleh pengalaman langsung memimpin operasi penanganan bencana besar.
Sejak awal karier militernya, Farid menunjukkan ketertarikan pada bidang kemanusiaan. Pada 2005 ia mengikuti seminar ”disaster relief” di Jepang, lalu melanjutkannya dalam seminar serupa di Beijing pada 2011.
Namun, ”ujian sesungguhnya” bagi Farid Makruf datang pada 2016, ketika banjir besar melanda Kota Bima. Saat itu kota terisolasi total: jalur darat terputus, komunikasi lumpuh, serta masyarakat sulit memperoleh makanan dan air bersih.
Farid yang ketika itu menjabat komandan Korem 162/Wira Bhakti ditunjuk sebagai dansatgas penanggulangan bencana banjir.
Dalam situasi kritis itu, ia mengorganisasi kekuatan TNI-Polri, relawan, serta meminta dukungan pasukan dan alat berat dari Mabes TNI untuk membersihkan residu banjir, membuka akses vital, membangun jembatan dan jalan darurat, serta mendirikan dapur umum dan layanan pengobatan massal.
Dalam waktu singkat, kondisi Kota Bima pulih mendekati normal. Pengalaman itulah yang kelak membentuk kerangka kepemimpinannya dalam bencana bahwa negara hadir dengan empati dan kecepatan, bukan sekadar laporan situasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: