Mitigasi Berbasis Lanskap, Bukan Sekadar Izin Lingkungan
Warga berdiri di tumpukan kayu yang tersapu banjir di Sungai Aek Garoga, Tapanuli Selatan-YT Hartono/AFP -
Di sini, kegagalan bukan hanya pada level proyek atau bangunan, tetapi pada perencanaan lanskap skala makro dan meso, dimana rencana tata ruang tidak sungguh sungguh memasukkan peta risiko dan karakter fisiografi dan morfologi kawasan, sehingga zona-zona perlindungan strategis tidak terpetakan.
Jika pun terpetakan, potensi risiko ini tidak pernah menjadi fokus utama dalam proses pembangunan. Tidak membangun masih dianggap tabu, padahal esensi dari tidak membangun sejatinya adalah untuk menjaga apa yang sudah terbangun.
Perencanaan Lanskap: Dari Pinggiran ke Panggung Utama
Selama ini, arsitektur lanskap sering dipersepsikan sekadar soal taman, estetika, dan “penghijauan” di akhir proyek. Padahal, dalam konteks mitigasi banjir dan longsor, perencanaan lanskap justru seharusnya menjadi titik awal yang kritikal.
Perlu perubahan paradigma jika kita ingin meminimalkan kerusakan di masa depan.
Perubahan paradigma pertama adalah perencanaan lanskap tidak boleh hanya sekedar jadi "ijin lahan", tapi harus bergeser ke paradigma "kapasitas ekologis". Konsekuensinya, pertanyaan perencanaan harus berubah dari "apakah lahan ini secara administrasi dan penguasaan bisa dibangun?" menjadi "apakah lanskap ini mampu menanggung tambahan beban tanpa meningkatkan resiko bencana?"
Kawasan dengan resiko bencana tinggi memerlukan keberanian politik untuk membatasi pembangunan, bahkan relokasi harus menjadi pilihan sebagai bagian dari strategi dan mitigasi yang perlu dipersiapkan.
Perubahan paradigma kedua adalah dari "hard engineering" murni menjadi "soft engineering" dalam wujud infrastuktur hijau terintegrasi. Dinding penahan tanah, betonisasi lereng, dan saluran yang dibuat kedap air, tidak didesain untuk menampung kondisi hujan ekstrem.

Alat berat membuka akses darat yang tertimbun material lumpur, batu, dan pohon di Kabupaten Agam Sumatera Barat-BNPB-
Kita membutuhkan taman resapan, wetland buatan, jalur hijau drainase, sabuk hijau di lereng, dan hutan kota yang dirancang sebagai bagian dari jaringan infrastruktur hijau. Solusi berbasis alam (nature-based solutions) yang sifatnya regeneratif ini tidak untuk menggantikan rekayasa sipil, tetapi melengkapinya dan sering kali lebih ekonomis dalam jangka panjang.
Perubahan paradigma ketiga adalah dari "normalisasi sungai" ke ‘restorasi ruang air’, sudah saatnya kita memberikan perhatian lebih pada daerah aliran air alamiah, bantaran sungai dan dataran banjir yang merupakan bagian dari sistem hidrologi.
Mengembalikan sempadan sungai, membatasi pembangunan di dataran banjir, dan memulihkan ekosistem riparian untuk memperlambat aliran dan mengurangi erosi.
Menghormati Korban dengan Membangun Sistem yang Lebih Baik
Empati kita kepada para korban dan keluarganya tidak selesai di ucapan belasungkawa dan kunjungan ke lokasi bencana. Empati sejati justru diuji dalam kemauan untuk mengubah cara kita merencanakan ruang, agar tragedi serupa tidak terus berulang dengan pola yang sama.

Suasana haru menyelimuti Posko Pengungsian di Desa Bambel Baru, Kabupaten Aceh Tenggara, ketika Presiden RI Prabowo Subianto tiba untuk meninjau langsung kondisi para korban banjir, Senin (1/12/2025).-Setpres-
Dari kacamata Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), beberapa langkah konkret yang bisa segera diambil diantaranya audit lanskap dan tata ruang di DAS prioritas yang terdampak banjir bandang. Bukan hanya untuk menghitung kerusakan, tetapi untuk memetakan kembali ruang air, zona risiko, dan area yang perlu direstorasi.
Menyusun rencana induk adaptasi perubahan iklim berbasis lanskap di tingkat provinsi/kabupaten, yang mengintegrasikan infrastruktur hijau, desain ruang terbuka, dan perlindungan kawasan penyangga dan yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan pengawasan serta memperkuat regulasi agar rencana yang sudah baik tidak berhenti di atas kertas, tetapi benar-benar menjadi panduan pembangunan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: