Warga yang terdampak erupsi Semeru cukup lega. Pemerintah pusat menyediakan hampir 2.000 unit rumah baru untuk mereka. Mereka sangat bersyukur mendapat bantuan itu. Termasuk Suryadi, warga Curah Kobokan, yang sama sekali tak menyangka bisa mendapat rumah.
RUAS jalan di Griya Semeru Damai masih lengang. Hanya sesekali terlihat beberapa pengendara. Mereka keliling sambil menikmati pemandangan jajaran rumah baru di kanan-kiri. Beberapa kendaraan terparkir di depan rumah deretan Blok D. Salah satunya sepeda motor hitam butut. Dibiarkan sendiri di sisi ruas jalan yang masih berstruktur tanah. Persis di depan rumah berplakat hitam: Blok D1-10. Memang ada infrastruktur proyek perumahan itu yang belum tuntas. Dari tanah tempat parkir motor ke rumah masih terhalang oleh gorong-gorong yang masih menganga. Perlu sedikit lompatan kecil untuk sampai ke halaman rumah baru di sisi selatan jalan itu. Ya, Suryadi adalah pemilik sah rumah tersebut. Ia sudah memegang kunci sejak 27 April. “Tapi, belum saya tempati. Rencana habis Lebaran nanti,” kata Suryadi yang mempersilakan Harian Disway menjadi tamu pertama di rumah barunya itu. Hari itu, Minggu (1/5) adalah pengujung Ramadan. Sesoknya sudah Idul Fitri. Tetapi, rumah Suryadi belum bersolek layaknya rumah-rumah lain di kawasan perkotaan. Ruang tamu Suryadi pun masih melompong. Memang kursi dan meja tamu sudah disediakan. Namun belum ditata. Masih dibiarkan tergeletak dan berdebu di ruang kamar depan. Kami duduk di ruang tamu itu beralas karpet plastik baru. Barang-barang baru yang lain juga belum dipasang. Masih menumpuk di kamar belakang. Di antaranya, kipas angin, kasur busa, bantal, karpet, rak piring, dan gas melon alias tabung Elpiji 3 kilogram. Beberapa yang lain juga ada yang utuh. Masih di dalam kardusnya: mesin penanak nasi, dispenser, teko, dan sebagainya. Semuanya satu paket bantuan dengan rumah baru itu. Suryadi berpakaian cukup santai. Khas orang-orang desa. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang. Tapi, dengan bawahan celana training merah. Juga bertopi putih. Pun juga dengan putri dan istrinya yang ikut menemui Harian Disway sore itu. Sang istri lebih terlihat serius mengenakan gamis lengkap berjilbab. Dia yang paling sibuk sendiri. Mondar-mandir dari toilet depan ke ruang belakang. Kadang terdengar bunyi kerikan seperti jangkrik. Ternyata itu bersumber dari kegiatan sang istri. Yakni sedang membersihkan bekas cat di lantai toilet. Sementara si anak, Mirnawati, mengenakan piyama merah muda. Sibuk dengan HP Suryadi. Sedang melakukan panggilan video. Sambil berkeliling ke seluruh ruangan di depan. “ Iki cendheloe kayak ngene (ini jendelanya seperti ini, Red),” ucap Mirnawati dengan berbahasa Jawa ke seseorang yang nongol di layar HP itu. Mirna tampak riang. Dia menyelingi dengan ketawa-ketiwi sepanjang berbincang. Menceritakan semua sudut rumah baru itu. “Di- videocall sama Pak Dhe-nya yang di Sidoarjo,” timpal Suryadi yang sejak tadi tersipu malu oleh tingkah putrinya. Rupanya, keluarga kecil itu sudah bisa move-on dari peristiwa erupsi Semeru yang menimpa mereka pada 4 Desember 2021 itu. Kini, mereka sangat senang dan bersyukur mendapat hunian baru. Suryadi sendiri tak pernah mengira bakal punya rumah baru. Bantuan-bantuan seperti itu tak pernah ada di benaknya. Itu terbukti sejak hari pertama pasca erupsi pada Minggu, 5 Desember 2021. Saat itu, pria 42 tahun tersebut tak pikir panjang. Yang di pikirannya cuma satu: sandang pangan anak-anak dan istrinya. Ia pun langsung memboyong keluarganya ke Sidoarjo. Persis sehari setelah terjadi erupsi. Bahkan para tetangganya yang jadi panik. Sebab, mereka tak melihat Suryadi sekeluarga di posko pengungsian. Untung salah seorang tetangga ada yang berinisiatif menghubungi nomor ponselnya. “Saya naik bus. Sudah sampai Pasuruan baru dapat telepon,” kenang Suryadi. Si tetangga itu pun tak percaya. Hingga Suryadi meminta telepon itu dialihkan ke panggilan video. Lantas si tetangga terharu dan meminta Suryadi sekeluarga kembali ke desa. Suryadi menata meja dan kursi tamu di rumah barunya.Foto: Mohammad Nur Khotib-Harian Disway Suryadi menolak ajakan itu. Bersikeras merantau ke Sidoarjo. Ia merasa harus bertanggung jawab dengan kebutuhan pokok keluarganya. Sebab, mata pencaharian utamanya sebagai pedagang sudah barang tentu hilang karena erupsi. Ia datang tidak sendiri ke Sidoarjo. Ada empat orang lain yang ikut. Sesama warga terdampak erupsi. Di Sidoarjo, mereka menjadi buruh seorang juragan bakso. Mereka diserahi satu gerobak setiap hari untuk berjualan keliling. Suryadi bersama anak istrinya sudah ikhlas menjalani hidup yang baru. Menjadi warga rantau. Berencana menabung rupiah untuk membangun rumah. Hati mereka sudah pas. Melepaskan semua yang hilang. Namun, justru dengan sikap hati yang melepas itulah ia bisa menerima hal yang lebih besar. Suryadi dihubungi oleh para tetangganya di posko pengungsian Desa Penanggal. Ia diminta untuk segera pulang. Sebab, ada kabar bahwa para pengungsi bakal diberi bantuan. “Saya nggak nyangka kalau dikasih rumah. Ya Allah, matur nuwun sanget punan (sudah sangat berterima kasih, Red),” ucap Suryadi dengan bergetar. (Mohamad Nur Khotib)